Jumat, 11 November 2011

GLOBALISASI TEORI PEMBANGUNAN

Dalam teori pembangunan dikenal adanya faktor eksogen dan endogen yang saling berkaitann sebagai tesis dan antitesis. Meskipun dalam khasanah teori keduan faktor tersebut dapat di pisahkan, dalam kenyataannya kedua faktor tersebut saling twrkat antara satu dengan lainnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu negara di dunia ini yangsepenuhnya otonom dan mandiri.

1.  Dari Dependendi Menuju Interdepensi

Ada berapa dimensi yang mndasari lahirnya konsep interdependensi sebagai perkembengan dari konsep ketergantungan. Dimensi tersebut meliputi  dimensi fisik, dimensi ekonomi dan dimensi politik.

Dimasi fisik  pertama kali muncul pada tahun 1970 –an , trutama setelah diadakannya konfrensi lingungan oleh PBB pada thun 1972. Konprensi lingkungan memunculkan kesadaran akan adanya “suatu bumi”, dimana kegiatan suatu negara akan menpengruhi keseimbangan lingkungan secara global.
Dimansi ekonomi yang mendasari konsep interdepandensi  ini pertama kali dikemukakan dalam proposal yang diajukan oleh komisi brandt atau brandt commission report padatahun 1980. Dalam proposalnya tersebut,komisi ini menghendaki adanya hubungan ekonomi yang saling menguntunkan. Dalam hubungan tersebut memungkinkan terciptanya kondisi “win-win position” (posisi saling menguntungkan) dan bukan Lagi posisi “zero sum game” (yang satu untung yang satu rugi) sebagai mana diterapkan dalam konsep ketergantungan.
Adanya keterkaitan antarnegara dalam dimensi fisik  maupun ekonomi diharapkan manciptakan adanya kerjasama yang mendorong adanya perdamayan dan pembagunan dunia. Perkembangan konsep ketergantungan menuju konsep interdependensi ini mangakibatkan adanya transisi dalam perekonomian dunia.
Perubahan dalam aliran dana tersebut diikuti dengan perubahan dalam pola investasi. dalam negara-negara industri mulai melakukan relokasi ke negera-negara dunia ketiga. Relokasi industri tersebut tidak lepes dari kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi komunikasi dan inpormasi yang memungkinkan bagi pengusaha untuk melakukan keputusan yang cepat untum mengantisipasi perubahan pasar, teknologi transportasi yang semakin memperpendek jarak  antarnegara, maupun teknologi dalam organisasi tenaga kerja yang memungkinkan adanya penyederhanaan dalam proses produksi.

2.  Penekatan Dalam Konsep Intredepensi

Pendekatan dalam konsep interdepandensi ini menyatakan bahwa kapitalisme dalam perekonomian dunia sudah ada semenjak abat ke-16. Sistem kapitalisme ini berkaembang yang pada akhirnya menyatukan wilayah-wilayah yang semula terisolasi maupun wilwyay-wilayah yang telah mamapu mencukupi kebutuhan masarakatnya secara mandiri. Perkembangan sisteme kapitalisme ini mengandung dua dimensi, yaitu: ekpansi secara geograpis dan ekpansi dalam bidang sosial ekonomi. Adanya ekpansi in menumbuhkan adanya daerah-daerah semiperiferi di samping daerah inti/pusat (core) dan daerah pingiran (periferi).polarisasi antara daerah inti, periferi, dan semiferiteri ini berdampak pada adanya pembagian kerja,dimana daerah inti marupakan produsan produk-produk industri dan daerah periferi sebagai daerah pertanian. Sedangkan daerah semiperiferi merupakan daerah transisi antara pusat dan periferi, dimana produknya lebih mengarah pada prodok-produk industri meskipun tetap menghasilkan produu-produk pertanian.

Meskipun pendekatan dalam konsep ketergantungan dan komsep interdependensi sama-sama bersifat kapitalis, komsep interdependensi tidak mempertrtentangkan kepentingan dari daerah inti dengan daerah peroferi. Dalam pendekatan interdependensi justru lebih ditekankan adanya kerjasama antara keduanya yang memungkinkan bagi daerah periferi untuk berkembang menjadi daerah semiperiferi. Menurut pendekatan ini. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi suatu daerah dari daerah periferi menjadi semiperiferi atau dari daerah semiperiferi menjadi daerah inti.


3.  Strategi Pembangunan dan Sistem Dunia

Teori pembangunan modern terdiri atas dua komponen.yaitu;komponen pertama adalah tujuan akhir dari pembangunan. Dan komponen ke dua adalah alat yang di gunakan untuk mencapai tujuan pembangunan [Hettne.1991;135] pada komponen pertama biasanya bersifat normatif karena di pengaruhi oleh ideologi yang di anut oleh negara tersebut. Sedangkan komponen ke dua di jabarkan dalam strategi pembangunan yang hendak diterapkan. Hal ini dapat dilihat secara eksplisit dalam perencanaan suatu negara.
Strategi pembangunan suatu negara merupakan cerminan dari kemampuan suatu negara untuk bertindak.sehingga krisis yang terjadidi suatu negara dapat dikatakan merupakan krisis dari strategi pembangunan yang di terapkan oleh negara tersebut. Dengan demikian, strategi pembangunan pada dasarnya merupakan konsep enpiris yang langsung berkaitan dengan prilaku negara ( Hettne,1991;136).diterapkan suatu negara terhadap masalah peningkatan kesehjahtraan rakyatnya dalam arti materill, yang dikaitkan dengan sumberdaya dan alam yang di punyainya, serta berkaitan dengan dunia internasional.
a.   Upaya Repormasi Global

Interpretasi teoritis terhadap pembangunan global tergantung bagai mana kita memahami penomena interdependensi. Baik Tata Ekonomi Dunia Baru maupun usulan Komisi Brandt merupakan gerakan reformasi global, karena keduanya memandang dunia sebagai  suatu sisitem secara keseluruhan. Problem utama dari strategi reformasi semacam ini adalah: siapakah yang dinamakan agen perubahan? Ini berkaitan dengan kedua konsep ini menghendaki intervensi, yang dinyatakan dalam strategi pembangunan, sehingga amat sering dikaitkan dengan negara sebagai aktor yang dominan.


     Tata Ekonomi Dunia Baru (NIEO atau New International Economic Order) lebih merupakan starategi politik dibanding stratigi ekonomi. NIEO merupakan ekpresi dari solideritas Negara-negara Dunia  Ketiga yang menghendaki gerakan swadaya secara kolektif. Usulan utamanya adalah suatu jalur pembagunan yang dilakukan perdagangan negara-negara industri dan akses terhadap tenologinya kendati demikian, masalah utama yang menghadang NIEO, yaitu dihadapi oleh strategi global lainya, adalah bahwa strategi ini tidak diikutidengan penjelasan yang gamblang mengenai siapa pelaku yang akan meleaksanakannya.

     Laporan komisi Brandt(1990) yang berjudul “North-South: A programme for Survival” mengenai dialog Utura-Selatan menghadapi masalah yang sama.Usalan Brandt ini mendasarkan pada konsep interdependensi. Dialag Utara Selatan,sebagaimana dirintis dalam deklarasi NIEO,segera mengalami kemacetan.penyebabnya,negara kaya tidak dapat memenuhi permintaan yang dinyatakan dalam dokumen NIEO.laporan komisi Brandt boleh dikata identik deng global keynesianism.solusi keynes terhadap kemiskinan global adalah melakukan apa yang disebut massive resource transfer. Maksudnya,penduduk miskin global merupakan fungsi dari sistem keynes yang menganggur sehingga bila mereka menggunakan sumber-sumber produksi negara maju,maka masalah ekonomi dengan sendirinya terpecahka.

     Dadat diduga tangapan terhadap usulan ini amat bervariasi tertanggung idiologi pembangunan yang dianut.Liberalisme yang radikal tentu tidak dapat diterima oleh penganut “aliran kanan baru” kerena menghendaki agar NSB menyeibangkan agar negaranya, meliberalkan perekonomian, dan mengidentifikasi keunggulan komparatif yang dimilikinya.Di sisi lain, kritik dari penganut aliran “kiri” mempertanyakan kepentingan yang saling menguntungkan antara negara-negara Utara dan Selatan sebagaimana tesis interdependensi. Menurut pandangan mereka,intergrasi Dunia ketiga kedalam sistem interdependensi global justru akan meningkatkn konflik dibandingkan mendatang stabilitas.

b. Klasifikasi Strategi Pembangunan
     Percobaan untuk memisahkan dari dengan sistem dunia dalam tinkat yang radikal (redical delinking) terbukti tidak didukung oleh fakta empiris. Kendati demikian pilihan strategi pembangunan memang antara intergrasi dengan sistem dunia ataukah otonomi, ataupun antara penganut aliran radikal dengan pembangunan bertahap. Dua pilihan ini mememang telah menjadi isu utama dalam teori pembangunan yang dimulai sejak kritik List terhadap ekonomi politik Inggris, atau yang dinyatakan oleh Friedrich Listsebagai: ekonomi nasional versus kosmopolitik, (Hettne, 1991: 145-6). Isu ini, yaitu apakah ada kontradiksi antara pembangunan nasional dan internasional, menandai munculnya ekonomi pembangunana. Ekonomi politik nasional dikambangkanlebih lanjut oleh para penganut teori dependensia, yang mendukung ststegi radikal delinking dengan pasar dunia.
       Berdasarkan pengalama dalam proses penbangunan sebelumnya, Grifin (1988) megolongkan setrategi pembangunan menjadi enam yaiti:
1.      Strategi Pembangunan Moneteris
2.      Strategi Pembagunan Ekonomi Terbuka
3.      Srtategi Pembangunan Industrialisasi
4.      Strategi Pembangunan Revolusi Hijau
5.      Strategi Pembangunan Redistribusi
6.      Strategi Pambangunan Sosialisasi

Perlu dicata bahwa tidak semua negara menganut setrategi pembangunan yang jelas. Biasanya, kebanyakan negara yang tidak mengikuti strategi pembangunan yang dapat diidentifikasi dan seringkali berubah-ubah. Ini diakibatkan karena melemahnya peran negara di NSB, dan bisa jugaakibat krisis ekonomi global.bisa dipahami apabila pran srategi pembangunan bagi banyak negara saat ini cendruang  menjawab krisis manajemen daripada melakukan transformasi sosial-ekonomi. Pada giliranya hal ini mengarungi relevansi teori pembangunan.

Dampak Globalisasi dalam Perubahan Pembangunan Ekonomi ke Pembangunan Sosial pada Dunia Ketiga

Menurut John Rennie Short (2001, 10), Globalisasi merupakan suatu proses dimana terkaitnya orang-orang maupun tempat-tempat, institusi-institusi dan peristiwa di sekeliling dunia. Singkatnya, definisi dari globalisasi adalah meningkatnya tekanan kepada dunia untuk menjadi suatu aliran jaringan tunggal dari uang, gagasan-gagasan dan hal-hal lainnya. Globalisasi dalam prosesnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ekonomi, politik dan budaya. Dalam bidang ekonomi, menurut Short, ekonomi global telah matang sekitar 500 tahun lalu. Aliran pinggir dunia dari kapital dan buruh telah menghubungkan tempat dan mengintegrasikan mereka ke dalam dunia ekonomi semenjak abad ke-enam belas. Pasar bebas di bursa keuangan serta layanan-layanan ekonomi, saat ini berjalan melalui suatu payung regulasi, dimana negara tidak berperan banyak dibanding pusat pasar.
Dalam bidang politik, suatu politik global menjadi lebih mungkin dengan kemunduran blok Soviet. Organisasi-organisasi internasional memiliki peranan penting ketika rejim pengamanan, perdagangan dan hak asasi manusia menjadi lebih terkemuka dalam mengorganisir ruang politik. Sedangkan dalam bidang budaya, dibandingkan kepada versi ekonomi dan politik, hal ini lebih sulit untuk diamati. Proses dalam globalisasi ekonomi telah memberikan kontribusi pada globalisasi kebudayaan. Globaliasasi kebudayaan berproses melalui arus berkelanjutan dari ide-ide, informasi, komitmen, nilai-nilai dan rasa yang melintasi dunia. Hal tersebut dimediasikan oleh pergerakan individu, tanda-tanda, simbol-simbol dan simulasi elektronik.
Dari pengertian dan pembagian globalisasi di atas, menurut penulis, globalisasi terjadi karena adanya pengaruh dari sektor ekonomi, sehingga mempengaruhi sektor politik dan budaya. Artinya, pembangunan ekonomi di negara Amerika dan sebagian besar Eropa, menjadikan mereka sebagai negara modern. Fenomena ini dominan terutama pasca perang dunia kedua, dimana negara-negara lain harus berbenah diri dalam bidang ekonomi, sosial dan politik sebagai dampak perang yang begitu dahsyat. Di tengah keterpurukan internasional, Amerika dan sebagian negara Eropa menjadi kekuatan yang dominan, terkhususnya di bidang ekonomi. Kebijakan Marshall Plan yang dianggap sebagai solusi untuk menciptakan pembangunan negara-negara yang porak poranda pasca perang dunia kedua, digagas oleh Amerika dan sekutunya. Negara-negara yang tengah berbenah itu, harus banyak mengejar ketertinggalan mereka ke arah pembangunan ekonomi yang baik, maupun pembangunan politik, sosial dan budaya, sebagaimana negara hal yang ada pada negara-negara yang sudah maju.
Untuk dunia ketiga, momen pasca perang dunia kedua telah membawa angin segar ke arah politik, terkhusus bagi negara-negara di benua Asia dan Afrika. Banyak negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika telah menghirup kemerdekaan negara mereka dari kolonialisme. Negara yang baru merdeka ini juga berusaha menuju ke tahap modernisasi, agar dapat berkembang dalam segi ekonomi, politik dan budaya, seperti negara yang telah lebih dahulu berada di posisi tersebut. Salah satu cara menuju ke tahap modern, banyak negara-negara di dunia ketiga, melakukan seperti apa yang dilakukan di negara dunia pertama. Salah satu upaya menuju ke tahap modernisasi adalah dengan pembangunan ekonomi. Menjadi negara maju merupakan harapan besar dari negara dunia ketiga yang baru merdeka. Negara dunia ketiga secara serempak mencari model pembangunan yang hendak digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan dalam usaha untuk mempercepat pencapaian kemerdekaan politiknya (Alvin So & Suwarsono, 1991, 8).
Pembangunan ekonomi menjadi salah satu pilihan model pembangunan dari negara dunia ketiga pada saat itu. Salah satu ciri dari pembangunan ekonomi adalah ukuran pertumbuhan pembangunan diukur berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi pula pendapatan negara yang diperoleh dimana hasilnya akan menetes ke bawah “trickle down effect” dalam bentuk distribusi dan membuka lapangan pekerjaan serta dapat mengatasi kemiskinan. Hal ini diakui oleh para tokoh pembangunan ekonomi, seperti Rostow dengan lima tahap pembangunan ekonomi yang diperkenalkannya. Akan tetapi, dalam penerapannya konsep trickle down effect yang diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat justru tidak terjadi. Hal yang terjadi adalah penumpukan kapital pada sekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan, serta terjadinya peningkatan angka pengangguran, kemiskinan serta angka migrasi desa kota (Adi, 2008, 11).
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia juga mengalami kendala dalam pembangunan ekonomi sebagai dampak globalisasi. Kebijakan ekonomi neoliberal pada awal Orde Baru yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan dukungan modal asing, baik melalui utang luar negeri maupun investasi asing langsung, memang membuktikan sejak awal Pelita I (1969 – 1973) perekonomian Indonesia tumbuh secara konstan dengan rata-rata 6,5 persen per tahun. Inflasi terkendali di bawah dua digit dengan implikasi pendapatan per kapita penduduk yang pada tahun 1969 masih 90 dollar AS, pada tahun 1982 berhasil ditingkatkan menjadi 520 dollar AS. Bahkan di akhir tahun 1990-an, perekonomian Indonesia sempat dipuji Bank Dunia karena berhasil menurunkan tingkat kemiskinan. Pada tahun 1997, pendapatan per kapita penduduk Indonesia telah meningkat menjadi 1.020 dollar AS. Namun tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, kemudian tidak diikuti oleh trickle down effect yang nyata, sebaliknya semakin memperbesar jurang kesenjangan sosial antara sekelompok kecil penduduk yang sangat kaya dengan sebagaian besar masyarakat yang tetap hidup dalam kemiskinan. Sejak itulah muncul berbagai pemikiran di kalangan terbatas ahli ilmu-ilmu sosial dan ilmu ekonomi di Indonesia yang mengkritik model dan arah kebijakan ekonomi pemerintah, dengan fokus utama bagaimana memberikan perhatian lebih besar kepada aspek pemerataan atau aspek keadilan sosial dalam kebijakan perekonomian nasional (Manuel Kaisiepo, 2006, 183)
Gambaran di atas sepertinya sudah sangat jelas rasanya untuk mengatakan bahwa persoalan pembangunan ekonomi telah dirasakan secara global. Gambaran tersebut menurut hemat penulis adalah suatu hal yang lumrah, karena gagasan mengenai pembangunan ekonomi berasal dari negara dunia pertama sebagai pengagasnya. Dari gambaran itu, setidaknya ada dua hal yang ingin disampaikan oleh penulis : Pertama, dalam konteks global, gagasan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada tolak ukur pertumbuhan ekonomi ternyata tidak selalu sesuai di beberapa negara, terkhusus di negara dunia ketiga / negara sedang berkembang. Hal ini jelas asimetris dengan negara dunia pertama yang begitu perkasa dengan pembangunan ekonominya. Dengan demikian, harus dicari suatu pendekatan baru yang lebih kontekstual dengan negara berkembang, selain pembangunan ekonomi. Kedua, secara nasional, persoalan pembangunan ekonomi memang berhasil merangsang pertumbuhan ekonomi di Indonesia, namun pertumbuhan yang luar biasa ini tidak dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Dengan kata lain, persoalan pemerataan dari hasil pertumbuhan ekonomi di Indonesia menyebabkan suatu persoalan sosial di tengah-tengah masyarakat. Berkaca pada persoalan itu, untuk pembangunan nasioanal harus digali suatu pendekatan yang dapat menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu.
Kedua hal di atas menurut hemat penulis, merupakan jalan masuk sekaligus alasan mengapa pembangunan nasioanal berubah arah dari pembangunan ekonomi ke arah pembangunan sosial. Pembangunan sosial hadir untuk mengatasi persoalan pembangunan ekonomi yang terdistorsi. Persoalan distorsi dalam pembangunan, dijelaskan lanjut oleh Midgley (2005, 5) bahwa hal tersebut terjadi karena pembangunan ekonomi tidak sejalan dengan pembangunan sosial. Pembangunan yang terdistorsi juga tidak hanya terjadi dalam bentuk kemiskinan, kekurangan, rendahnya tingkat kesehatan dan pemukiman yang tidak layak, tetapi juga pada keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Untuk itu pendekatan kepada pembangunan sosial yang dipilih menggantikan pendekatan pembangunan ekonomi. Hal yang harus dipahami dari pembangunan sosial adalah bahwa pembangunan sosial berbeda dari philantrophi sosial, pekerjaan sosial dan administrasi sosial. Menjadi berbeda karena pembangunan sosial tidak menangani individu baik dengan menyediakan bagi mereka barang dan layanan atau dengan menangani dan merehabilitasi mereka. Tetapi pembangunan sosial lebih terfokus pada komunitas atau masyarakat dan proses maupun pada struktur sosial yang lebih luas.
Lebih lanjut Midgley menjelaskan bahwa perbedaan yang lain adalah pembangunan sosial bersifat komprehensif dan universal. Tidak seperti philantrophi sosial dan pekerjaan sosial, pembangunan sosial tidak hanya menyalurkan bantuan kepada individu yang membutuhkan, tetapi berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan seluruh warga. Karakter khas dari pembangunan sosial adalah usahanya untuk menghubungkan usaha-usaha pembangunan ekonomi dan sosial, seperti usaha dalam mengintergrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan pembangunan yang dinamis. Apa yang disampaikan oleh Midgley mengenai pembangunan sosial menurut hemat penulis menekankan pada pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan sosial. Artinya hal tersebut memiliki persamaan tujuan dalam pembangunan nasional. Ditilik dari definisi pembangunan nasioanal, yaitu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melasanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang ada pada pembukaan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan itu memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi. (UU No.17 Tahun 2007).
Pada kesimpulannya, dapatlah kita melihat alasan kesesuaian tujuan pembangunan sosial dengan tujuan pembangunan nasional, merupakan alasan berubahnya pembangunan ekonomi ke arah pembangunan sosial. Terkait dengan globalisasi, bahwa pembangunan ekonomi yang terdistorsi dan telah dirasakan secara global, tidak kontekstual untuk negara berkembang, terkhusus negara Indonesia. Mungkin bagi negara maju, pembangunan ekonomi dapat sesuai dengan tujuan pembangunan mereka, tetapi tidak bagi negara berkembang layaknya Indonesia. Pembangunan sosial dirasakan lebih pas dalam mengisi formulasi pembangunan nasional di Indonesia. Setidaknya pembangunan sosial berusaha menjawab mengapa faktor pemerataan pertumbuhan ekonomi penting dalam menyikapi persoalan sosial yang muncul pada persoalan pembangunan sebelumnya. Hal itu juga menjadi tujuan dari pembangunan nasional di Indonesia, sehingga pembangunan sosial-lah yang pada akhirnya menjadi paradigma pembangunan di Indonesia.

Perubahan Globalisasi

1.   Lingkungan Global
  • Kecenderungan globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi dengan adanya World Trade Organisation-WTO dan General Agreement on Trade in Services-GATS, akan dapat meningkatkan kebutuhan jasa angkutan laut ekspor-impor dan kebutuhan jasa penunjang angkutan laut;
  • Pergeseran sentra kegiatan perekonomian dunia dari kawasan Atlantik ke kawasan Pasifik. Pergeseran ini diikuti dengan kecenderungan berkembangnya pola pelayaran antara pelabuhan-pelabuhan di Pantai Barat Amerika (American West Coast) dan pelabuhan-pelabuhan di Pasifik Barat (Jepang, Korsel, Taiwan, Hongkong dan Cina) serta di Pasifik Barat Daya (khususnya negara-negara anggota ASEAN);
  • Perkembangan Manajemen Pengusahaan di Bidang Angkutan Laut dan Kepelabuhanan;
  • Perkembangan pengaturan dalam International Maritime Organization (IMO).
 2.   Lingkungan Regional
a.   Kerja Sama Sub Regional, meliputi:
  • Singapore-Johor-Riau (SIJORI)
  • Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT);
  • Kerja sama Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT);
  • Kerja sama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East Asia Growth Area (BIMP-EAGA);
  • Kerja sama Indonesia-Australia.
 b.   Kerja Sama Regional
  • ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), diperkirakan akan meningkatkan volume perdagangan antar negara ASEAN yang dengan sendirinya akan meningkatkan permintaan jasa transportasi laut.
  • Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) akan menuju kesepakatan di bidang International Passenger Transport, International Cargo Transport dan Cargo Handling.
3.   Lingkungan Nasional
      Pengaruh lingkungan strategis nasional, antara lain berupa:
  • Terjadinya Krisis Ekonomi/Multidimensi yang berdampak pada kemunduran usaha di bidang angkutan laut dan usaha penunjangnya;
  • Pelaksanaan Otonomi Daerah/Desentralisasi yang menimbulkan perubahan kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan transportasi berdasarkan UU no. 32 tahun 2004.

ERA GLOBALISASI DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Dalam era globalisasi ekonomi, perdagangan internasional antara negara menjadi kabur batasannya. Berkembangnya perdagangan internasional sejak didirikan General Agreemnet On Tariff and Trade (GAAT) pada tahun 1947 dengan tujuan memperluas perdagangan internasional sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Organisasi baru yang bernama Word Trade Organization (WTO). Untuk membantu perkembangan perdagangan internasional di negara-negara berkembangan, dibentuklan General System of Preference (GSP) oleh negara maju. Negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, telah melaksanakan globalisasi ekonomi dengan melakukan liberalisasi ekonomi. Masing-masing negara menurut kecepatan yang berbeda dengan memperhitungkan komitmen mereka dalam WTO, APEC atau AFTA. Kerangka ketentuan
global dalam perdagangan internasional yang menjadi ruang gerak negara-negara berkembang sebagian besar ditentukan oleh negara-negara industri. Berkaitan dengan tatanan perdagangan internasional yang baru dimana WTO, APEC dan AFTA mempunyai ketentuan-ketentuan dasar yaitu ”keterbukaan Pasar” harus dilaksanakan dengan konsekuen agar negara berkembang seperti Indonesia benarbenar mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan dampak-dampak positif dari Peranan Bidang Perkapalan dan Pelayaran Niaga dalam Perdagangan 15 perdagangan bebas, terutama keterbukaan perdagangan antara negara ASEAN yang memberikan kesempatan kepada tiap negara untuk saling mengisi peluang pasar yang ada sesuai kemampuan produksi masing-masing negara. Keuntungan dari keterbukaan pasar dapat menyebabkan peningkatan produksi barang untuk dipasarkan ke Negara yang membutuhkan. Jadi peranan industri pelayaran semakin penting di dunia, karena kapal merupakan sarana yang sangat tepat dalam perdagangan internasional. Penyelenggaraan angkutan laut di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan strategis

Mengenal Globalisasi & Proteksi Perdagangan

1. Pengertian :
Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna.
John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi.
Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
2. Ciri globalisasi
a. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
b. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
c. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
d. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
3.  Teori globalisasi
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu:
a. Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
1) Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
2) Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
b. Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
c. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai “seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung“. Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.

Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan Internasional PENTINGNYA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Sejak usai perang dunia ke dua, saling ketergantungan antar negara semakin meningkat, terutama beberapa dekade belakangan ini. Bahkan negara-negara bekas Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina yang karena alasan polotis maupun militer dapat bersifat sangatself-
sufficient dimasa lampau, kini mereka menyadari perlunya mengimport produk-produk
berteknologi tinggi, modal luar negeri bahkan hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Banyak negara-negara di dunia yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara efisien. Hal ini disebababkan antara lain kurangnya teknologi, modal luar negeri dan sumberdaya alam yang terbatas, misal beberapa negara industri kecil seperti Austria dan Swiss yang hanya memiliki sedikit sumber daya dan memproduksi lebih sedikit jenis produk, yang kemudian mereka ekspor ke negara lain untuk diganti dengan berbagai produk yang harus mereka impor. Juga Indonesia yang kaya dengan sumber daya tetapi minim akan modal dan teknologi juga harus membutuhkan negara lain. Bahkan beberapa negara industri besar seperti Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Italia dan Kanada sangat mengandalkan perdagangan internasional. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, ekspor memberikan peluang kesempatan kerja dan menghasilkan devisa yang dapat digunakan untuk membayar berbagai produk luar negeri dimana pada saat ini tidak dapat diproduksi karena keterbatasan modal, sumber daya atau teknologi yang tidak tersedia di dalam negeri. Hal yang secara kuantitatif lebih penting adalah bahwa banyak produk yang dapat diproduksi dalam negeri suatu negara namun itu hanya dapat dilakukan dengan biaya lebih tinggi dibanding jika produk tersebut diproduksi di negara lain.
3

Globalisasi, Perdagangan Bebas, dan Peran Pemerintah

Menurut George C. Lodge dalam bukunya Managing Globalization In The Age Of Interdependence (1995: 1), globalisasi adalah suatu proses dimana masyarakat dunia menjadi semakin terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan mereka baik dalam hal budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Akibatnya, dunia saat ini telah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya untuk barang dan jasa, tetapi juga untuk penyediaan modal dan teknologi. Atau dengan kata lain, negara-negara di dunia, secara berangsur telah beralih kepada mekanisme pasar (market-driven) daripada campur tangan pemerintah dalam memecahkan berbagai persoalan perekonomian nasional.

Dengan keterkaitan antara satu negara dengan negara lainnya ini, salah satu implikasi yang muncul adalah ketatnya persaingan antar bangsa, baik dalam hal produk barang dan jasa, kapasitas sumber daya manusia, maupun dalam hal penyediaan fasilitas dan prosedur yang memadai untuk kegiatan investasi dari negara tertentu. Jika suatu negara tidak memiliki basis keunggulan berbanding (comparative advantage) apalagi keunggulan bersaing (competitive advantage), maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan tergilas oleh negara lain, sehingga pada gilirannya, secara internasional akan menempatkan negara tersebut pada posisi terbelakang.

Dalam kaitan ini, sangat menarik untuk menyimak pendapat Kristiadi (1997: 75-76) mengenai pergeseran basis perekonomian dari komparatif menjadi kompetitif suatu negara sebagai berikut:

“Dalam menghadapi era liberalisasi ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan dunia (WTO) yang tidak mungkin dihindari, pergeseran basis kompetitif dari sumber daya alam kepada sumber daya manusia, sudah menjadi tuntutan mutlak. Sebab, hanya negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sajalah yang akan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya dengan cepat. Negara-negara yang hanya mengandalkan kekayaan SDA tetapi mengabaikan kualitas SDM, tidak akan mampu bersaing dalam dunia internasional dibandingkan dengan negara yang mempunyai SDA terbatas namun memiliki SDM yang unggul”.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme


  • Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
  • Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar  luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
  • Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
    1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
    2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
    3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

  • Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
    1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
    2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
    3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
    4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
    5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.


  • Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
  • Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
  1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
  2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
  3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
  4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
  5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.

Bangsa Indonesia Menyambut Globalisai Politik

Ketika mendengar ungkapan "politik global" yang ada di benak kita adalah percaturan perebutan kekuasaan, hegemoni dan pengaruh di dunia global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia. Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara, lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antar kekuatan militer yang menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, seperti yang kita saksikan dalam pertempuran-pertempuran di Afghanistan dan Iraq. Seperti sebuah negara, dunia global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri.

Sejak Amerika Serikat menjadi negara adi kuasa, kini dunia mengenal corak dalam percaturan internasional yang dikenal dengan politik global. Isu politik global adalah bukan suatu yang baru dalam percaturan politik internasional karena pada dasarnya bibit politik global telah muncul sejak didirikannya league of nation dengan pionernya Woodrow Wilson, dengan konsep-konsep open government, self-determination dan juga konsep collective security yang kemudiaan dikembangan menjadi sebuah paradigma baru yang dikenal dengan paradigma idealisme, kemudian muncul paradigma yang intinya pengembangan dari idealisme seperti halnya liberalisme dan internasionalisme yang mengangkat isu-isu global.

Tragedi 11 September 2001 ditandai dengan difokuskannya isu global kepada agenda perang melawan terorisma "War against Terorism", perang baru yang terjadi adalah antar kekuatan-kekuatan besar dunia dan bukan lagi antar negara tertentu. Perang itu ternyata lebih kompleks karena yang terjadi tidak hanya pertempuran-pertempuran antar kekuatan bersenjata yang menelan banyak korban sipil, tapi juga perebutan otoritas, pengaruh, hegemoni dan perebutan sumber ekonomi dan pasar internasoinal serta perang peradaban dan kultur di dunia global yang tak lagi terbatasi oleh wilayah territorial. Maka sering dikatakan bahwa berakhirnya perang dingin adalah mulainya era globalisasi dalam arti sesungguhnya.

Peta Kepentingan dalam politik global

Hegemoni Barat dalam percaturan politik global yang sedemikian kuat ini, sehingga menjadikan mereka sebagai aktor utamanya telah menimbulkan persepsi kuat bahwa sebenarnya yang terjadi adalah munculnya kolonialisme dan imperialsme baru. Seperti halnya kebijakan-kebijakan luar negeri AS, khususnya paska 11/9 sangat jelas terlihat bahwa ia ingin menjadikan sistem dunia yang mendukung dan menguntungkan bagi kepentingan negaranya. Isu nuklir dan senjata pemusnah massal (WMD) ataupun terorisme telah menjadi argumentasi global untuk menekan sebuah negara atau kelompok tertentu.

Di lain pihak, negara-negara berkembang dibuat tergantung dengan sistem hutang internasional seperti IMF dan Bank Dunia, masyarakat berkembang dijadikan kecanduan dengan produk teknologi maju melalui konsumerisme yang disiarkan oleh media-media massa. Belum lagi perusahaan-perusahaan internasional milik negara-negara maju yang menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan dalam skup nasional saja, banyak perusahaan-perusahaan lokal dalam sebuah negara yang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan internasional yang bermodal besar dan menguasai teknologi yang mutakhir. Di bidang eksplorasi dan penambangan sumber mineral di negara-negara berkembang, terjadi monopoli oleh perusahaan-perusahaan asing sehingga terkesan bahwa hasil mineral mereka dirampas oleh perusahan-perusahaan asing dan para penguasa setempat.

Kekhawatiran-kakhawatiran tersebut telah menyebabkan kanalisasi kekuatan baru yang juga bersifat global. Kekuatan ini ingin melakukan counter balance terhadap kekuatan global yang diciptakan oleh blok Barat. Kekuatan ini juga sadar bahwa tidak mungkin mengimbangi kekuatan global yang ada saat ini kecuali dengan kekuatan global juga. Kekuatan ini juga yakin bahwa kalau mereka tidak bertindak, maka mereka akan tertindas dan terjepit oleh kekuatan globalisme Barat. Sementara itu menghadapi Barat dengan konfrontatif adalah sia-sia karena kekuatan Barat yang sedemikian kuat. Kanalisasi kekuatan baru inilah yang kemudian mengkristal menjadi kekuatan destruktif, yang oleh media massa diistilahkan dengan terorisme, radikalisme, tradisionalisme dan fundamentalisme.

Bangsa Indonesia menjadi korban atau pemeran

Dalam percaturan politik global, dimana sebenarnya posisi bangsa Indonesia? Meskipun mungkin banyak juga hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia dari dinamika percaturan politik global saat ini, namun rasanya lebih banyak lagi dampak-dampak negatif yang telah dirasakan oleh bangsa kita, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Bangsa kita lebih banyak menjadi korban percaturan politik global ataukah menjadi pemeran.

Rasanya sejauh ini bangsa kita lebih banyak menjadi korban dari pada menjadi pemeran dalam percaturan politk global. Suatu contoh, belitan hutang luar negeri (debt trap) yang tidak kunjung lepas, nilai tukar mata uang kita yang terus terpuruk, perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang mineral kita, tenaga kerja kita yang dibeli secara murah di luar negeri, aset-aset penting kita juga tidak sedikit yang dikuasai oleh kekuatan asing dan bahkan kebutuhan dasar seperti beras di negeri kita yang subur itu juga telah tergantung pada pasar asing. Di lain pihak bangsa kita juga ternyata sama sekali tidak resistan dengan kekuatan-kekuatan destruktif global seperti gerakan terorisme, sparatisme, radikalisme dan bahkan jaringan obat terlarang global. Ini menunjukkan betapa nasionalisme bangsa kita sebenarnya telah banyak terkikis oleh internasionalisme.

Bisakah kita mentransformasikan diri dari korban menjadi pelaku dalam politk global? Jawabannya terletak pada kemampuan kita mentransformasi sistem politik, sistem ekonomi, serta --yang terpenting-sejauh mana bangsa kita ini bisa mengatasi potensi konflik etnis, agama, ras, dan masalah pemerataan kekayaan diantara rakyat kita sendiri.

Untuk turut menjadi aktor utama dalam arus globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, dan itu berarti dimulai dari pendidikan yang memadai untuk membentuk tenaga manusia yang berpotensi, yang pertama untuk pengembangan ekononi negara karena diantara salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Yang dari sini bila itu dapat terwujud akan memperkecil dependensi negara pada badan-badan moneter internasional, dengan begitu kebijakan otonomi nasional akan terwujud, dan apa yang disebut kesejahteraan rakyat, melalui pemerataan distribusi penghasilan, juga stabilitas nasional akan dapat terkedepankan. Dengan demikian pendidikan adalah permulaan yang penting demi menuju kemajuan suatu negara.

Globalisasi Pendidikan

Pembahasan tentang pendidikan menjadi menarik akhir-akhir ini setelah beberapa isu tentang globalisasi pendidikan menjadi hangat diperbicangkan. Mungkin karena istilah “globalisasi” tidak pernah surut ditelan zaman. tanda-tanda globalisasi di dunia pendidikan dapat ditelusuri dengan polemik pro dan kontra UU No. 20 tahun 2003 pasal 53 ayat 1 yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional yang menyatakan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Walaupun draft RUU badan hukum pendidikan ditolak oleh mahkamah konsititusi, namun penyelengggara pendidikan tidak kehabisan akal untuk keukeuh melaksanakan komersialisasi pendidikan, maka muncul kemudian istilah Badan Layanan Umum (BLU) pendidikan (walaupun petinggi pendidikan masih berdalih, konsep ini bukan liberalisasi).
Untuk alasan ini, terjadi kontestasi di dunia pendidikan yang memberi ruang bagi pasar untuk melakukan penetrasi ke dunia pendidikan baik tingkat pendidikan dasar maupun tingkat pendidikan tinggi. Munculnya sekolah baik level swasta dan negeri dengan label “bertaraf internasional”, “status disamakan”, “terakreditasi” menjadi indikasi telah terjadi kontestasi di dunia pendidikan.
Kompas ( 20/10/2010) dalam sebuah ulasan, diakui atau tidak, universitas tidak lebih sebagai mesin penghasil ijazah dan legalisir. Ijazah palsu dan pemberian gelar akademik secara instan adalah contoh permintaan masyarakat dan penawaran para pedagang gelar. Ilustrasi ini membawa kita pada pemahaman bahwa globalisasi dengan logika pasar bebas memberikan sentuhan di dunia pendidikan.
Instan
Pendidikan sekarang ini bergerak dengan cepat dengan cara-cara instan dan berjalan seperti mesin turbo. Seolah-olah dipacu dengan waktu untuk berlari sekencang-kencangnya. Maka jalan untuk mencapai itu adalah memberi kemudahan dalam pelayanan pendidikan dengan hanya membayar atau membeli ijasah atau gelar. Istilah sederhana, “jika bisa dipermudah, mengapa dipersulit”. Diakui bahwa pendidikan berjalan mekanis dan ini bermuatan bisnis atau komersialisasi pendidikan.
Sederhananya, ketika negara tidak memberi stimulus dana ke penyelenggara pendidikan, dan untuk mengatasi masalah ini maka mau tidak mau, penyelenggara pendidikan harus menyerahkannya ke pasar dengan memudahkan administrasi dan birokrasi akademik. Kita bisa lihat mudahnya masuk kuliah di universitas yang menomorduakan kualitas yang penting kuantitas. Imbasnya kemudian, dengan label akreditasi itu, penyelenggara pendidikan menarik biaya pendidikan yang tidak sedikit, mulai pungutan biaya penerimaan siswa/mahasiswa, biaya pembangunan gedung, biaya laboratorium, biaya bimbingan akademik dan biaya lain yang sifatnya tidak sedikit.
Sekarang proporsi pendidikan 70 berbanding 30. Dimana 70 persen dana berasal mahasiswa sedangkan 30 persen sisanya dari pemerintah. Jika dulu peran pemerintah sangat besar dalam memberi subsidi pendidikan, sekarang siswa/mahasiswa yang mengganti peran pemerintah dalam memberi santunan pendidikan.
Berkaca pada realitas, pendidikan kini dijadikan “bisnis” yang menguntungkan. Beberapa bukti banyaknya penyelenggara pendidikan yang dibuka baik dalam bentuk yayasan maupun yang dikelola oleh swasta. Ini tidak salah namun masih dipertanyakan tentang kualitas dari penyelenggara pendidikan itu. Walaupun tidak semua pendidikan swasta itu tidak berbobot namun banyak pula pendidikan swasta hanya mencari keuntungan semata namun mengabaikan kualitas pelayanan pendidikan itu sendiri.
Menjauhi cita-cita
Pembukaan UUD 45 dengan kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi afirmasi bahwa kecerdasan menjadi penting. Oleh karena itu, negara memilki peran untuk memberi pendidikan kepada rakyat. namun terkadang nilai normatif tidak seindah realitasnya. Pendidikan menjadi barang mahal di negara ini. Pendidikan hanya bisa dijangkau bagi mereka yang memiliki modal. Komersialisasi atau bisnisasi pendidikan menjadi “renyah” diperbincangkan. Ibarat makanan cepat saji, pendidikan dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat enak dipandang, cepat saji dan mudah di dapat dengan tidak lupa memberi pencitraan label-label.
Seperti diberitakan dalam media online (vivanews.com, Jumat/10/12/2010), ribuan pelajar dan mahasiswa di Inggris melakukan aksi unjuk rasa yang menentang kenaikan biaya pendidikan yang segera akan diberlakukan. Kenaikan tarif pendidikan di inggris itu tidak main-main, kenaikannya mencapai 3 kali lipat. Bagaimana dengan pendidikan kita ?, Konteks pendidikan di Indonesia setali tiga uang, sebagai contoh universitas ternama di Indonesia seperti UI, UGM, ITB tiap tahun mengalami peningkatan biaya pendidikan.
Telah disinggung di awal tulisan bahwa batang tubuh UUD 45 disebutkan bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan. Cita-cita luhur ini masih jauh dari tataran praksis dan cenderung menjauh dari cita-cita pendidikan itu sendiri. Sedikit “beromantisme” dengan tokoh pendidikan bangsa, Ki Hajar Dewantara dengan konsep cipta-rasa-karsa, tentang tut wuri handayani ternyata mampu mengartikulasi cita-cita luhur dari UUD 45 dengan menimba dan mengembangkan konsep pendidikan dari tanah sendiri. Ia tidak mengimpor konsep dari luar negeri. Kendati demikian, konsep pendidikannya berlaku universal.
Ungkapan bijak tersebut memberi isyarat pentingnya menciptakan keadaban pendidikan dengan pola sendiri, menggali kultur kita sendiri sebagai jalan untuk selaras dan harmonis dalam kedamaian hidup. Itulah esensi nilai-nilai pendidikan yang sudah lama bangsa Indonesia miliki, hanya dengan angin globalisasi membuat pendidikan kita semakin terpengaruh dengan pola pendidikan asing. Saya pikir nilai-nilai ajaran universal dari Ki Hajar Dewantara perlu digali kembali untuk memaknai pendidikan di Indonesia yang sudah mengarah globalisasi pendidikan dancondong ke komersialisasi.
Situasi pendidikan di Indonesia saat ini (dalam istilah Sindhunata) seperti pendidikan turbo yang instrumentalis, pragmatis, dan konsumeristis. dan cita-cita pendidikan pun menjauh. Pendidikan turbo yang membelenggu anak didik, dan menjauhkan diri dari cita-cita awal seperti amanat konstitusi UUD 45. Carut marut pendidikan di Indonesia sangat nampak dan terasa telah membuat cita-cita mulia Ki Hajar Dewantara tidak akan terwujud.

Dampak Globalisasi dalam Pendidikan di Indonesia

Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dewasa ini telah banyak mengubah budaya dan peradaban bangsa Indonesia dengan segala dampak positip dan negatifnya. Kalo kita perhatikan pada tahun 1991 :
  1. Masih banyak gedung bioskop baik di kota maupun dipelosok desa dan banyak peminatnya, serta banyak orang hajatan yang memanfaatkan hiburan baik layar tancap maupun video,
  2. Wartel masih sangat laku dimana-mana sampai banyak sekali orang yang berminat buka wartel dan berebut yang membuat telkom jadi bingung serta membuat suatu peraturan yang dijadikan syarat untuk mendirikan wartel,
  3. Telepon kabel/rumah banyak sekali peminatnya dan telkom kerepotan untuk melayani masyarakat
  4. Di kantor-kantor jarang ada komputer, karena komputer masih menjadi barang yang mahal
  5. Di Perguruan Tinggi dan sekolah, belajar dengan menggunakan OHP sudah dianggap kere
Coba bandingkan dengan apa yang terjadi sekarang (tahun 2008), tentu sebaliknya. Teknologi berkembang sangat pesat, pemerintah juga jadi kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. pertanyaannya adalah:
BAGAIMANA MODEL SEKOLAH MASA DEPAN?
kalau kita perhatikan di era globalisasi yang dibutuhkan adalah bagaimana diri kita dapat diterima keberadaannya di belahan dunia manapun, dengan bekal sertifikat Nasional apakah  cukup  tentunya untuk menghadapi era globalisasi kita membutuhkan sertifikasi internasional sebagai pengakuan atas eksistensi kita di level internasional, sehingga kita dapat berselancar ke negara manapun dengan sertifikat internasional yang kita miliki.
mungkin ke depan, peserta didik lebih memilih Ujian Internasional yang Ijazahnya dapat dibanggakan dan dapat digunakan untuk melanjutkan studi ke luar negerti dan mendapat pengakuan secara internasional.
masalahnya adalah
  1. Apakah sekolah siap menyelenggarakan pendidikan bertaraf Internasional untuk mendapat Ijazah Internasional
  2. Apakah Guru sudah kompeten dalam menyelenggarakan pendidikan
Bagaimana kalau tidak siap?
Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalo kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalo kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja.
Apa yang akan terjadi?
  1. Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional
  2. Desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional
Bagaimana jika sekolah tidak mampu memenuhi harapan itu?
sekolah akan ditinggalkan oleh siswa, dan tidak ada lagi yang mau sekolah di sekolah konvensional
Truz, apa trend?
maka akan bermunculan
  1. Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global
  2. Virtual School dan Virtual University
Bagaimana mempertahankan eksistensi sekolah?
agar sekolah tetap eksis, maka sekolah harus:
  1. Meningkatkan mutu SDM terutama Guru dalam penguasaan Bahasa Inggris dan Bahasa Asing lainnya
  2. Peningkatan Mutu Guru dalam penguasaan teknologi Informasi dan Komunikasi
  3. Peningkatan Mutu Managemen sekolah
  4. Peningkatan Mutu sarana dan Prasarana
  5. Sertifikasi Internasional untuk guru
demikianlah, semoga kita dapat mengarungi arus derasnya gelombang globalisasi dan kita tidak tenggelam dalam gelombang.

Dampak globalisasi

Dampak positif globalisasi antara lain:
  • Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
  • Mudah melakukan komunikasi
  • Cepat dalam bepergian (mobilitas tinggi)
  • Menumbuhkan sikap kosmopolitan dan toleran
  • Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
  • Mudah memenuhi kebutuhan
Dampak negatif globalisasi antara lain:
  • Informasi yang tidak tersaring
  • Perilaku konsumtif
  • Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit
  • Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
  • Mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara

Globalisasi kebudayaan

Globalisasi kebudayaan


Sub-kebudayaan Punk, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global.
Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.

Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan

  • Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
  • Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
  • Berkembangnya turisme dan pariwisata.
  • Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
  • Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
  • Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
  • Persaingan bebas dalam bidang ekonomi
  • Meningkakan interaksi budaya antar negara melalui perkembangan media massa

Keburukan globalisasi ekonomi

  • Menghambat pertumbuhan sektor industri
Salah satu efek dari globalisasi adalah perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas. Perkembangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tingi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang (infant industry). Dengan demikian, perdagangan luar negeri yang lebih bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Selain itu, ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional semakin meningkat.
  • Memperburuk neraca pembayaran
Globalisasi cenderung menaikkan barang-barang impor. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran. http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Globalisasi&action=edit
  • Sektor keuangan semakin tidak stabil
Salah satu efek penting dari globalisasi adalah pengaliran investasi (modal) portofolio yang semakin besar. Investasi ini terutama meliputi partisipasi dana luar negeri ke pasar saham. Ketika pasar saham sedang meningkat, dana ini akan mengalir masuk, neraca pembayaran bertambah bak dan nilai uang akan bertambah baik. Sebaliknya, ketika harga-harga saham di pasar saham menurun, dana dalam negeri akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran cenderung menjadi bertambah buruk dan nilai mata uang domestik merosot. Ketidakstabilan di sektor keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
  • Memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Apabila hal-hal yang dinyatakan di atas berlaku dalam suatu negara, maka dlam jangka pendek pertumbuhan ekonominya menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang pertumbuhan yang seperti ini akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja akan semakin lambat pertumbuhannya dan masalah pengangguran tidak dapat diatasi atau malah semakin memburuk. Pada akhirnya, apabila globalisasi menimbulkan efek buruk kepada prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara, distribusi pendapatan menjadi semakin tidak adil dan masalah sosial-ekonomi masyarakat semakin bertambah buruk.

Kebaikan globalisasi ekonomi

  • Produksi global dapat ditingkatkan
Pandangan ini sesuai dengan teori 'Keuntungan Komparatif' dari David Ricardo. Melalui spesialisasi dan perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien, output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
  • Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan yang lebih bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan barang yang lebih banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah.
  • Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
Perdagangan luar negeri yang lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar dalam negeri.
  • Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal dapat diperoleh dari investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara berkembang karena masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga terdidik yang berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.
  • Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan sektor industri dan berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh perusahaan asing, tetapi terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta domestik. Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal dari bank atau pasar saham. dana dari luar negeri terutama dari negara-negara maju yang memasuki pasar uang dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut.

Ciri Globalisasi

Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.

Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia.
  • Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
  • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
  • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
  • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.

Sejarah Globalisasi

Sejarah globalisasi
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur.]]