Ketika mendengar ungkapan "politik global" yang ada di benak kita adalah percaturan perebutan kekuasaan, hegemoni dan pengaruh di dunia global antara kekuatan-kekuatan besar di dunia. Percaturan tersebut kadang berupa proses politik yang melibatkan banyak negara, lembaga internasional dan kepentingan kelompok tertentu. Percaturan tersebut juga kadang terjadi dengan diwarnai pertempuran antar kekuatan militer yang menyimpan banyak kepentingan di belakangnya, seperti yang kita saksikan dalam pertempuran-pertempuran di Afghanistan dan Iraq. Seperti sebuah negara, dunia global telah mempunyai dinamika politiknya sendiri.
Sejak Amerika Serikat menjadi negara adi kuasa, kini dunia mengenal corak dalam percaturan internasional yang dikenal dengan politik global. Isu politik global adalah bukan suatu yang baru dalam percaturan politik internasional karena pada dasarnya bibit politik global telah muncul sejak didirikannya league of nation dengan pionernya Woodrow Wilson, dengan konsep-konsep open government, self-determination dan juga konsep collective security yang kemudiaan dikembangan menjadi sebuah paradigma baru yang dikenal dengan paradigma idealisme, kemudian muncul paradigma yang intinya pengembangan dari idealisme seperti halnya liberalisme dan internasionalisme yang mengangkat isu-isu global.
Tragedi 11 September 2001 ditandai dengan difokuskannya isu global kepada agenda perang melawan terorisma "War against Terorism", perang baru yang terjadi adalah antar kekuatan-kekuatan besar dunia dan bukan lagi antar negara tertentu. Perang itu ternyata lebih kompleks karena yang terjadi tidak hanya pertempuran-pertempuran antar kekuatan bersenjata yang menelan banyak korban sipil, tapi juga perebutan otoritas, pengaruh, hegemoni dan perebutan sumber ekonomi dan pasar internasoinal serta perang peradaban dan kultur di dunia global yang tak lagi terbatasi oleh wilayah territorial. Maka sering dikatakan bahwa berakhirnya perang dingin adalah mulainya era globalisasi dalam arti sesungguhnya.
Peta Kepentingan dalam politik global
Hegemoni Barat dalam percaturan politik global yang sedemikian kuat ini, sehingga menjadikan mereka sebagai aktor utamanya telah menimbulkan persepsi kuat bahwa sebenarnya yang terjadi adalah munculnya kolonialisme dan imperialsme baru. Seperti halnya kebijakan-kebijakan luar negeri AS, khususnya paska 11/9 sangat jelas terlihat bahwa ia ingin menjadikan sistem dunia yang mendukung dan menguntungkan bagi kepentingan negaranya. Isu nuklir dan senjata pemusnah massal (WMD) ataupun terorisme telah menjadi argumentasi global untuk menekan sebuah negara atau kelompok tertentu.
Di lain pihak, negara-negara berkembang dibuat tergantung dengan sistem hutang internasional seperti IMF dan Bank Dunia, masyarakat berkembang dijadikan kecanduan dengan produk teknologi maju melalui konsumerisme yang disiarkan oleh media-media massa. Belum lagi perusahaan-perusahaan internasional milik negara-negara maju yang menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan dalam skup nasional saja, banyak perusahaan-perusahaan lokal dalam sebuah negara yang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan internasional yang bermodal besar dan menguasai teknologi yang mutakhir. Di bidang eksplorasi dan penambangan sumber mineral di negara-negara berkembang, terjadi monopoli oleh perusahaan-perusahaan asing sehingga terkesan bahwa hasil mineral mereka dirampas oleh perusahan-perusahaan asing dan para penguasa setempat.
Kekhawatiran-kakhawatiran tersebut telah menyebabkan kanalisasi kekuatan baru yang juga bersifat global. Kekuatan ini ingin melakukan counter balance terhadap kekuatan global yang diciptakan oleh blok Barat. Kekuatan ini juga sadar bahwa tidak mungkin mengimbangi kekuatan global yang ada saat ini kecuali dengan kekuatan global juga. Kekuatan ini juga yakin bahwa kalau mereka tidak bertindak, maka mereka akan tertindas dan terjepit oleh kekuatan globalisme Barat. Sementara itu menghadapi Barat dengan konfrontatif adalah sia-sia karena kekuatan Barat yang sedemikian kuat. Kanalisasi kekuatan baru inilah yang kemudian mengkristal menjadi kekuatan destruktif, yang oleh media massa diistilahkan dengan terorisme, radikalisme, tradisionalisme dan fundamentalisme.
Bangsa Indonesia menjadi korban atau pemeran
Dalam percaturan politik global, dimana sebenarnya posisi bangsa Indonesia? Meskipun mungkin banyak juga hal-hal positif yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia dari dinamika percaturan politik global saat ini, namun rasanya lebih banyak lagi dampak-dampak negatif yang telah dirasakan oleh bangsa kita, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Bangsa kita lebih banyak menjadi korban percaturan politik global ataukah menjadi pemeran.
Rasanya sejauh ini bangsa kita lebih banyak menjadi korban dari pada menjadi pemeran dalam percaturan politk global. Suatu contoh, belitan hutang luar negeri (debt trap) yang tidak kunjung lepas, nilai tukar mata uang kita yang terus terpuruk, perusahaan-perusahaan asing yang menguasai ladang-ladang mineral kita, tenaga kerja kita yang dibeli secara murah di luar negeri, aset-aset penting kita juga tidak sedikit yang dikuasai oleh kekuatan asing dan bahkan kebutuhan dasar seperti beras di negeri kita yang subur itu juga telah tergantung pada pasar asing. Di lain pihak bangsa kita juga ternyata sama sekali tidak resistan dengan kekuatan-kekuatan destruktif global seperti gerakan terorisme, sparatisme, radikalisme dan bahkan jaringan obat terlarang global. Ini menunjukkan betapa nasionalisme bangsa kita sebenarnya telah banyak terkikis oleh internasionalisme.
Bisakah kita mentransformasikan diri dari korban menjadi pelaku dalam politk global? Jawabannya terletak pada kemampuan kita mentransformasi sistem politik, sistem ekonomi, serta --yang terpenting-sejauh mana bangsa kita ini bisa mengatasi potensi konflik etnis, agama, ras, dan masalah pemerataan kekayaan diantara rakyat kita sendiri.
Untuk turut menjadi aktor utama dalam arus globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni, dan itu berarti dimulai dari pendidikan yang memadai untuk membentuk tenaga manusia yang berpotensi, yang pertama untuk pengembangan ekononi negara karena diantara salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Yang dari sini bila itu dapat terwujud akan memperkecil dependensi negara pada badan-badan moneter internasional, dengan begitu kebijakan otonomi nasional akan terwujud, dan apa yang disebut kesejahteraan rakyat, melalui pemerataan distribusi penghasilan, juga stabilitas nasional akan dapat terkedepankan. Dengan demikian pendidikan adalah permulaan yang penting demi menuju kemajuan suatu negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar