Pembahasan tentang pendidikan menjadi menarik akhir-akhir ini setelah beberapa isu tentang globalisasi pendidikan menjadi hangat diperbicangkan. Mungkin karena istilah “globalisasi” tidak pernah surut ditelan zaman. tanda-tanda globalisasi di dunia pendidikan dapat ditelusuri dengan polemik pro dan kontra UU No. 20 tahun 2003 pasal 53 ayat 1 yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional yang menyatakan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Walaupun draft RUU badan hukum pendidikan ditolak oleh mahkamah konsititusi, namun penyelengggara pendidikan tidak kehabisan akal untuk keukeuh melaksanakan komersialisasi pendidikan, maka muncul kemudian istilah Badan Layanan Umum (BLU) pendidikan (walaupun petinggi pendidikan masih berdalih, konsep ini bukan liberalisasi).
Untuk alasan ini, terjadi kontestasi di dunia pendidikan yang memberi ruang bagi pasar untuk melakukan penetrasi ke dunia pendidikan baik tingkat pendidikan dasar maupun tingkat pendidikan tinggi. Munculnya sekolah baik level swasta dan negeri dengan label “bertaraf internasional”, “status disamakan”, “terakreditasi” menjadi indikasi telah terjadi kontestasi di dunia pendidikan.
Kompas ( 20/10/2010) dalam sebuah ulasan, diakui atau tidak, universitas tidak lebih sebagai mesin penghasil ijazah dan legalisir. Ijazah palsu dan pemberian gelar akademik secara instan adalah contoh permintaan masyarakat dan penawaran para pedagang gelar. Ilustrasi ini membawa kita pada pemahaman bahwa globalisasi dengan logika pasar bebas memberikan sentuhan di dunia pendidikan.
Instan
Pendidikan sekarang ini bergerak dengan cepat dengan cara-cara instan dan berjalan seperti mesin turbo. Seolah-olah dipacu dengan waktu untuk berlari sekencang-kencangnya. Maka jalan untuk mencapai itu adalah memberi kemudahan dalam pelayanan pendidikan dengan hanya membayar atau membeli ijasah atau gelar. Istilah sederhana, “jika bisa dipermudah, mengapa dipersulit”. Diakui bahwa pendidikan berjalan mekanis dan ini bermuatan bisnis atau komersialisasi pendidikan.
Sederhananya, ketika negara tidak memberi stimulus dana ke penyelenggara pendidikan, dan untuk mengatasi masalah ini maka mau tidak mau, penyelenggara pendidikan harus menyerahkannya ke pasar dengan memudahkan administrasi dan birokrasi akademik. Kita bisa lihat mudahnya masuk kuliah di universitas yang menomorduakan kualitas yang penting kuantitas. Imbasnya kemudian, dengan label akreditasi itu, penyelenggara pendidikan menarik biaya pendidikan yang tidak sedikit, mulai pungutan biaya penerimaan siswa/mahasiswa, biaya pembangunan gedung, biaya laboratorium, biaya bimbingan akademik dan biaya lain yang sifatnya tidak sedikit.
Sekarang proporsi pendidikan 70 berbanding 30. Dimana 70 persen dana berasal mahasiswa sedangkan 30 persen sisanya dari pemerintah. Jika dulu peran pemerintah sangat besar dalam memberi subsidi pendidikan, sekarang siswa/mahasiswa yang mengganti peran pemerintah dalam memberi santunan pendidikan.
Berkaca pada realitas, pendidikan kini dijadikan “bisnis” yang menguntungkan. Beberapa bukti banyaknya penyelenggara pendidikan yang dibuka baik dalam bentuk yayasan maupun yang dikelola oleh swasta. Ini tidak salah namun masih dipertanyakan tentang kualitas dari penyelenggara pendidikan itu. Walaupun tidak semua pendidikan swasta itu tidak berbobot namun banyak pula pendidikan swasta hanya mencari keuntungan semata namun mengabaikan kualitas pelayanan pendidikan itu sendiri.
Menjauhi cita-cita
Pembukaan UUD 45 dengan kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi afirmasi bahwa kecerdasan menjadi penting. Oleh karena itu, negara memilki peran untuk memberi pendidikan kepada rakyat. namun terkadang nilai normatif tidak seindah realitasnya. Pendidikan menjadi barang mahal di negara ini. Pendidikan hanya bisa dijangkau bagi mereka yang memiliki modal. Komersialisasi atau bisnisasi pendidikan menjadi “renyah” diperbincangkan. Ibarat makanan cepat saji, pendidikan dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat enak dipandang, cepat saji dan mudah di dapat dengan tidak lupa memberi pencitraan label-label.
Seperti diberitakan dalam media online (vivanews.com, Jumat/10/12/2010), ribuan pelajar dan mahasiswa di Inggris melakukan aksi unjuk rasa yang menentang kenaikan biaya pendidikan yang segera akan diberlakukan. Kenaikan tarif pendidikan di inggris itu tidak main-main, kenaikannya mencapai 3 kali lipat. Bagaimana dengan pendidikan kita ?, Konteks pendidikan di Indonesia setali tiga uang, sebagai contoh universitas ternama di Indonesia seperti UI, UGM, ITB tiap tahun mengalami peningkatan biaya pendidikan.
Telah disinggung di awal tulisan bahwa batang tubuh UUD 45 disebutkan bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan. Cita-cita luhur ini masih jauh dari tataran praksis dan cenderung menjauh dari cita-cita pendidikan itu sendiri. Sedikit “beromantisme” dengan tokoh pendidikan bangsa, Ki Hajar Dewantara dengan konsep cipta-rasa-karsa, tentang tut wuri handayani ternyata mampu mengartikulasi cita-cita luhur dari UUD 45 dengan menimba dan mengembangkan konsep pendidikan dari tanah sendiri. Ia tidak mengimpor konsep dari luar negeri. Kendati demikian, konsep pendidikannya berlaku universal.
Ungkapan bijak tersebut memberi isyarat pentingnya menciptakan keadaban pendidikan dengan pola sendiri, menggali kultur kita sendiri sebagai jalan untuk selaras dan harmonis dalam kedamaian hidup. Itulah esensi nilai-nilai pendidikan yang sudah lama bangsa Indonesia miliki, hanya dengan angin globalisasi membuat pendidikan kita semakin terpengaruh dengan pola pendidikan asing. Saya pikir nilai-nilai ajaran universal dari Ki Hajar Dewantara perlu digali kembali untuk memaknai pendidikan di Indonesia yang sudah mengarah globalisasi pendidikan dancondong ke komersialisasi.
Situasi pendidikan di Indonesia saat ini (dalam istilah Sindhunata) seperti pendidikan turbo yang instrumentalis, pragmatis, dan konsumeristis. dan cita-cita pendidikan pun menjauh. Pendidikan turbo yang membelenggu anak didik, dan menjauhkan diri dari cita-cita awal seperti amanat konstitusi UUD 45. Carut marut pendidikan di Indonesia sangat nampak dan terasa telah membuat cita-cita mulia Ki Hajar Dewantara tidak akan terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar