Pengertian Globalisasi
Kita sudah sering sekali mendengar tentang Globalisasi, tetapi apa si pengertian Globalisasi itu? Nah globalisasi itu berasal dari kata global, dalam Ramus Umum Bahasa Indonesia berarti secara keseluruhan. Juga berarti suatu proses yang dapat mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga akan tampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata. Dalam keadaan global, apa saja dapat masuk sehingga sangat sulit untuk disaring atau dikontrol. Terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, makna globalisasi berdimensi luas dan kompleks, yaitu bagaimana suatu negara yang memiliki batas-batas territorial dan kedaulatan tidak berdaya untuk menepis masuknya informasi, komunikasi, dan transportasi yang dilakukan oleh masyarakat di luar perbatasan.
Globalisasi dalam arti literal ialah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemennya yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional.
Para ahli memiliki pendapat yang beragam berkaitan dengan konsep globalisasi, diantaranya:
a. Malcolm Waters
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografi pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.
b. Emmanuel Ritcher
Globalisasi adalah jaringan kerja global yang secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi ke dalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
c. Thomas L. Friedman
Globalisasi memiliki dimensi ideologi dan teknologi. Dimensi ideologi, yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia.
d. Princeton N. Lyman
Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling tergantung dan hubungan antara negara-negara di dunia dalam hal perdagangan dan keuangan.
e. Leonor Briones
Globalisasi bukan hanya dalam bidang perniagaan dan ekonomi namun juga mencakup globalisasi terhadap institusi-institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi manusia, dan pergerakan wanita.
Fenomena Globalisasi
Fenomena globalisasi yang sedang dihadapi umat manusia sejak abad ke-20 dapat ditandai oleh beberapa hal, di antaranya:
a. Arus etnis yang ditandai dengan mobilitas manusia yang tinggi dalam bentuk imigran, turis, pengungsi, tenaga kerja, dan pendatang yang telah melewati batas territorial negara.
b. Arus teknologi yang ditandai dengan mobilitas teknologi, munculnya multinational corporation dan transnational corporation yang kegiatannya dapat menembus batas-batas negara.
c. Arus keuangan yang ditandai dengan makin tingginya mobilitas modal, investasi, pembelian melalui internet, serta penyimpanan uang di bank asing.
d. Arus media yang ditandai dengan makin kuatnya mobilitas informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik. Berbagai peristiwa di belahan dunia seakan berada di hadapan
kita karena cepatnya informasi.
e. Arus ide yang ditandai dengan makin derasnya nilai baru yang masuk ke suatu negara. Dalam arus ide muncul isu yang telah menjadi bagian dari masyarakat intemasional. Isu ini merupakan isu intemasional yang tidak hanya berlaku di suatu wilayah nasional negara.
Berdasarkan fenomena yang tampak pada globalisasi, dapat dijumpai adanya tanda-tanda yang dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari tentang globalisasi sebagai berikut:
a. Meningkatnya perdagangan global.
b. Meningkatnya aliran modal intemasional, di antaranya investasi langsung luar negeri.
c. Meningkatnya aliran data lintas batas, seperti penggunaan internet, satelit komunikasi, dan telepon.
d. Adanya desakan berbagai pihak untuk mengadili para penjahat perang di Mahkamah Kejahatan Intemasional (International Criminal Court), dan adanya gerakan untuk menyerukan keadilan intemasional.
e. Meningkatnya pertukaran budaya (cultural exchange) intemasional, misalnya melalui ekspor film Hollywood dan Bollywood.
f. Menyebarluasnya paham multikulturalisme dan semakin besarnya akses individu terhadap berbagai macam budaya.
g. Meningkatnya perjalanan dan turisme lintas negara.
h. Berkembangnya infrastruktur telekomunikasi global,
i. Berkembangnya sistem keuangan global.
j. Meningkatnya aktivitas perekonomian dunia yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
k. Meningkatnya peran organisasi intemasional, seperti WTO, WIPO, IMF, yang berurusan dengan transaksi-transaksi intemasional.
Jumat, 30 Desember 2011
Globalisasi Gerus Nilai-nilai Pancasila
Generasi muda tengah diambang krisis identitas diri sebagai bangsa. Karena itu, pendidikan berbasis karakter bangsa sejatinya harus terus digalakkan di sekolah-sekolah.
Ketua Umum Pengurus Nasional Karang Taruna, Taufan EN Rotorasiko menyatakan, derasnya arus globalisasi perlahan-lahan telah mengikis Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Pancasila semakin jarang menjadi denyut nadi kehidupan anak-anak muda di masa sekarang.
“Di era globalisasi semangat Pancasila sangat diperlukan karena didalamnya terdapat jati diri bangsa yang membuat kita berkarakter kuat. Makanya, sangat penting sekolah-sekolah mengajarkan pendidikan berbasis karakter yang menyampaikan Pancasila sebagai nilai di masyarakat,” kata Taufan di Jakarta, Rabu, 1 Juni 2011.
Taufan mengatakan, taruna Indonesia harus disadarkan setiap hari tentang pentingnya aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, lanjutnya, adalah hal yang tepat supaya bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Dia menambahkan, bangsa yang berkarakter kuat sudah pasti dihormati oleh negara-negara lain di dunia. Dengan begitu, rakyat Indonesia lebih bermartabat dimata dunia internasional. “Jadi, negara yang berkarakter kuat akan memperkokoh posisi kita di mata dunia. Kuatnya posisi negara kita di dunia juga akan menambah kepercayaan diri bangsa,” jelas Taufan.
Menurutnya, kokohnya posisi Indonesia dapat menumbuhkan kepercayaan bangsa lain. Tak ayal, investasi ke Tanah Air bakal naik signifikan. “Masuknya investasi memberikan kontribusi langsung terhadap laju pertumbuhan ekonomi bangsa kita,”
Ketua Umum Pengurus Nasional Karang Taruna, Taufan EN Rotorasiko menyatakan, derasnya arus globalisasi perlahan-lahan telah mengikis Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Pancasila semakin jarang menjadi denyut nadi kehidupan anak-anak muda di masa sekarang.
“Di era globalisasi semangat Pancasila sangat diperlukan karena didalamnya terdapat jati diri bangsa yang membuat kita berkarakter kuat. Makanya, sangat penting sekolah-sekolah mengajarkan pendidikan berbasis karakter yang menyampaikan Pancasila sebagai nilai di masyarakat,” kata Taufan di Jakarta, Rabu, 1 Juni 2011.
Taufan mengatakan, taruna Indonesia harus disadarkan setiap hari tentang pentingnya aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, lanjutnya, adalah hal yang tepat supaya bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Dia menambahkan, bangsa yang berkarakter kuat sudah pasti dihormati oleh negara-negara lain di dunia. Dengan begitu, rakyat Indonesia lebih bermartabat dimata dunia internasional. “Jadi, negara yang berkarakter kuat akan memperkokoh posisi kita di mata dunia. Kuatnya posisi negara kita di dunia juga akan menambah kepercayaan diri bangsa,” jelas Taufan.
Menurutnya, kokohnya posisi Indonesia dapat menumbuhkan kepercayaan bangsa lain. Tak ayal, investasi ke Tanah Air bakal naik signifikan. “Masuknya investasi memberikan kontribusi langsung terhadap laju pertumbuhan ekonomi bangsa kita,”
Islam dan Globalisasi (Upaya Membangun Optimisme Umat )
Fenomena kehidupan saat ini menarik untuk dicermati. Realita kehidupan tak ubahnya seperti dunia di dalam rumah; semua sudah tidak mengenal jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan dunia timur bisa disaksikan dengan cepat oleh penduduk dunia belahan Barat, begitu pula sebaliknya. Tak heran muncul sebuah adagium “dunia ini sudah menjadi desa buana”. Sudah tak ada yang tersimpan. Semua serba transparan.
Fakta tersebut telah menunjukan adanya sebuah bukti bahwa manusia telah menampilkan keberhasilannya dalam bidang sains dan teknologi, terutama dalam mengakses informasi. Dari sini tentu kita akan sepakat bahwa informasi adalah kebutuhan dhorûri (primer) bagi setiap manusia. Siapa yang mampu menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia.
Sesungguhnya fenomena globalisasi sudah lama muncul. Hanya saja istilah ini baru muncul ke permukaan. Terma “globalisasi” berasal dari bahasa Inggris “globalization” yang berarti menyebar luaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan.
Globalisasi tidak hanya digunakan dalam bidang ekonomi saja, namun merupakan “ajakan” untuk mengadopsi paradigma tertentu (baca: Barat). Hal inilah yang kemudian banyak disoroti oleh para pengamat bahwa globalisasi sebenarnya tidak jauh beda dengan “amerikanisasi”.
Hal tersebut sangat jelas kita lihat dalam fakta yang terjadi di akhir-akhir ini; globalisasi hanyalah usaha Amerika untuk memperkuat hegemoni terhadap dunia. Banyak cara untuk melegitimasi hegemoni tersebut. Melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan bank dunia, mereka berusaha menguasai roda perekonomian dunia. Negara yang dianggap “penghalang” terpaksa harus disingkirkan dan harus diberi pelajaran. “Drama” tersebut bisa kita lihat dalam tragedi kemanusiaan di Afganistan, Palestina, Iran, Sudan dan selanjutnya entah negara mana lagi yang akan menjadi mangsa selanjutnya. Menyadari penyimpangan yang terjadi pada arti hakiki globalisasi tersebut, maka kita sebagai seorang muslim dituntut untuk bisa bersikap obyektif yaitu mampu melakukan pemilahan antara nilai-nilai positif (haq) dan nilai-nilai negatif (bâthil), agar sebagai umat Islam, kita tidak terjebak dalam jaring-jaring hegemoni Barat.
Kita menyadari bahwa globalisasi adalah trend sekaligus produk sejarah yang sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak punya kekuatan untuk menolak apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali serta jati diri.
Menghadapi era globalisasi, sikap kaum muslimin bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, mengikutinya secara mutlak. Mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar ideal yang perlu untuk ditiru. Sikap semacam inilah yang hanya akan menenggelamkan umat islam dari peredaranya. Kedua, mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan inilah yang diistilahkan oleh Prof. Dr. Yusuf Qordhowi sebagai kelompok “penakut”. Mereka takut untuk berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat. Hal itu dinilai tidak “fair” karena dianggap lari dari kenyataan yang ada. Mereka menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena takut terkena debu dan polusi peradaban. Padahal sejatinya mereka membutuhkan udara. Ketiga, golongan moderat (berada ditengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanyalah usaha yang sia-sia belaka dan tak berguna. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman. Allah Swt. berfirman : “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk sekalian manusia”
Pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah tentang masa depan umat islam. Setidaknya ada dua prediksi; Pertama, pesimistik. Sikap ini muncul karena melihat realita yang ada dalam tubuh umat islam sekarang, dimana untuk ukuran perkembangan sains dan teknologi umat islam berada dalam posisi yang paling bawah dan sangat termarjinalkan. Permasalahan umat islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya dekadensi moral, kesenjangan sosial, keterbelakangan, serta pelanggaran HAM telah begitu memprihatinkan. Inilah masalah-masalah yang sedang dihadapi umat islam. Untuk memperbaikinya umat membutuhkan waktu yang lama. Kedua, optimistik. Sikap ini didasarkan pada pengamatan sejarah, dimana kita pernah mengukir kejayaan di masa lampau. Dengan sikap yang seperti itu, mereka meyakini bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian di antara manusia.
Sebagai umat islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama Islam. Ada beberapa tawaran alternatif: (1). Mengembalikan kesadaran umat islam yang selama ini “tertidur”. Ajaran islam harus disampaikan untuk kemaslahatan dan pencerahan manusia. (2). Bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran islam ( Al-hujrat 13). (3). Berpegang teguh pada ajaran Islam sebagai sumber inspirasi peradaban. Dan yang terpenting adalah merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
WalLâhu a’lam bishowâb.
Fakta tersebut telah menunjukan adanya sebuah bukti bahwa manusia telah menampilkan keberhasilannya dalam bidang sains dan teknologi, terutama dalam mengakses informasi. Dari sini tentu kita akan sepakat bahwa informasi adalah kebutuhan dhorûri (primer) bagi setiap manusia. Siapa yang mampu menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia.
Sesungguhnya fenomena globalisasi sudah lama muncul. Hanya saja istilah ini baru muncul ke permukaan. Terma “globalisasi” berasal dari bahasa Inggris “globalization” yang berarti menyebar luaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan.
Globalisasi tidak hanya digunakan dalam bidang ekonomi saja, namun merupakan “ajakan” untuk mengadopsi paradigma tertentu (baca: Barat). Hal inilah yang kemudian banyak disoroti oleh para pengamat bahwa globalisasi sebenarnya tidak jauh beda dengan “amerikanisasi”.
Hal tersebut sangat jelas kita lihat dalam fakta yang terjadi di akhir-akhir ini; globalisasi hanyalah usaha Amerika untuk memperkuat hegemoni terhadap dunia. Banyak cara untuk melegitimasi hegemoni tersebut. Melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan bank dunia, mereka berusaha menguasai roda perekonomian dunia. Negara yang dianggap “penghalang” terpaksa harus disingkirkan dan harus diberi pelajaran. “Drama” tersebut bisa kita lihat dalam tragedi kemanusiaan di Afganistan, Palestina, Iran, Sudan dan selanjutnya entah negara mana lagi yang akan menjadi mangsa selanjutnya. Menyadari penyimpangan yang terjadi pada arti hakiki globalisasi tersebut, maka kita sebagai seorang muslim dituntut untuk bisa bersikap obyektif yaitu mampu melakukan pemilahan antara nilai-nilai positif (haq) dan nilai-nilai negatif (bâthil), agar sebagai umat Islam, kita tidak terjebak dalam jaring-jaring hegemoni Barat.
Kita menyadari bahwa globalisasi adalah trend sekaligus produk sejarah yang sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak punya kekuatan untuk menolak apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali serta jati diri.
Menghadapi era globalisasi, sikap kaum muslimin bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, mengikutinya secara mutlak. Mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar ideal yang perlu untuk ditiru. Sikap semacam inilah yang hanya akan menenggelamkan umat islam dari peredaranya. Kedua, mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan inilah yang diistilahkan oleh Prof. Dr. Yusuf Qordhowi sebagai kelompok “penakut”. Mereka takut untuk berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat. Hal itu dinilai tidak “fair” karena dianggap lari dari kenyataan yang ada. Mereka menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena takut terkena debu dan polusi peradaban. Padahal sejatinya mereka membutuhkan udara. Ketiga, golongan moderat (berada ditengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanyalah usaha yang sia-sia belaka dan tak berguna. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman. Allah Swt. berfirman : “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk sekalian manusia”
Pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah tentang masa depan umat islam. Setidaknya ada dua prediksi; Pertama, pesimistik. Sikap ini muncul karena melihat realita yang ada dalam tubuh umat islam sekarang, dimana untuk ukuran perkembangan sains dan teknologi umat islam berada dalam posisi yang paling bawah dan sangat termarjinalkan. Permasalahan umat islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya dekadensi moral, kesenjangan sosial, keterbelakangan, serta pelanggaran HAM telah begitu memprihatinkan. Inilah masalah-masalah yang sedang dihadapi umat islam. Untuk memperbaikinya umat membutuhkan waktu yang lama. Kedua, optimistik. Sikap ini didasarkan pada pengamatan sejarah, dimana kita pernah mengukir kejayaan di masa lampau. Dengan sikap yang seperti itu, mereka meyakini bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian di antara manusia.
Sebagai umat islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama Islam. Ada beberapa tawaran alternatif: (1). Mengembalikan kesadaran umat islam yang selama ini “tertidur”. Ajaran islam harus disampaikan untuk kemaslahatan dan pencerahan manusia. (2). Bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran islam ( Al-hujrat 13). (3). Berpegang teguh pada ajaran Islam sebagai sumber inspirasi peradaban. Dan yang terpenting adalah merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
WalLâhu a’lam bishowâb.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean
Ekonomi ASEAN pada saat sekarang masih dibayangi oleh ketidakpastian pertumbuhan, ekonominya walaupun masih terlihat dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi beberapa Negara ASEAN tahun 2004. Sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 akan mencapai 5,7 persen. Angka ini berarti meningkat dibandingkan prediksi semula sebesar 5,5 persen tahun 2004. Dampak ketidakpastian tersebut disebabkan oleh lonjakan harga minyak dunia. Selain itu ketidakstabilan nilai tukar mata uang. Sehingga ketidakpastian tersebut, juga akan mengganggu proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Pertumbuhan ekonomi ASEAN yang cukup tinggi selama tahun 2004 tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya permintaan eksternal dan naiknya harga komoditas non-minyak. Kenaikan harga minyak saat ini akan memberikan dampak yang lebih besar pada ekonomi ASEAN. Kenaikan harga minyak tersebut diperkirakan akan menekan nilai tukar di kawasan ASEAN dan meningkatkan tekanan inflasi. Selain dari itu perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Cina yang menjadi mitra dagang utama negara ASEAN diperkirakan akan memberikan dampak yang cukup signifikan di kawasan ASEAN.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Dari beberapa negara ASEAN, hanya Indonesia dan Kamboja yang revisi pertumbuhan ekonominya dinaikkan. Pertumbuhan ekonomi Thailand direvisi dari 5,6 persen menjadi 4 persen. Malaysia direvisi dari 5,7 persen menjadi 5,1 persen. Filipina direvisi dari 5 persen menjadi 4,7 persen. Sementara Vietnam tetap di kisaran 7,6 persen. Faktor menyebabkan pertumbuhan ekonomi ASEAN bergerak melemah. Misalnya saja Filipina dan Thailand yang cukup terpukul oleh tingginya harga minyak dan gagal panen. Filipina plus Malaysia juga tertekan oleh melambatnya sektor elektronik dunia. Namun khusus untuk Indonesia, ADB menilai faktor-faktor negatif tersebut bisa ditutupi oleh membaiknya iklim investasi. Sementara Vietnam tertolong oleh tingkat pertumbuhan yang baik. Secara keseluruhan, ADB merevisi pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara turun menjadi 5 persen, dari semula 5,4 persen. ADB juga menyebutkan, karena kebanyakan negara Asia adalah net importir minyak dan juga digolongkan sebagai kawasan yang tidak efisien dalam penggunaan energi, maka kawasan Asia sangat rentan oleh kenaikan harga minyak dunia.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
The Global Development Finance (GDF) mencatat, selama tahun 2004, sekitar 74 persen atau US$ 143,7 miliar dari total arus modal yang mengalir ke negara emerging market masuk ke Asia, termasuk ASEAN. Tingginya arus modal masuk ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keterbukaan ekonomi, penerapan kebijakan ekonomi yang market friendly dan prospek ekonomi yang dinilai baik. Meskipun mendapat keuntungan dari masuknya modal (capital inflow) yang sebagian besar di antaranya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI), arus modal juga telah meningkatkan kerentanan terhadap mata uang negara ASEAN. Berdasarkan kepada teori ekonomi dan penelitian sebelumnya, terdapat dua bentuk hubungan antara FDI dengan perdagangan antar negara iaitu sama ada (1) FDI merupakan pengganti atau pelengkap kepada perdagangan antar negara, atau (2) FDI menjadi penyebab kepada perdagangan antar negara atau sebaliknya. Karena FDI dianggap sebagai satu pemicu pertumbuhan ekonomi khususnya melalui pertumbuhan sektor ekspor dan import, menyediakan peluang pekerjaan, transfer teknologi dan sebagainya Foreign direct investment semenjak masuknya ke negara ASEAN tahun 2002 disebabkan semakin menguatnya stabilitas ekonomi dan pasar baik di pasar uang maupun pasar modal. Mengenai perkembangan perekonomian ASEAN-5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina semakin tumbuh dan berkembang. Sedangkan perekonomian ASEAN-4 yang terdiri dari Kamboja, Laos, Myamar dan Vietnam serta Brunei Darusalam semakin terbuka dan tumbuh. Investasi Langsung Luar negeri (FDI) dan perkembangan perdagangan di dunia wujud di negara-negara ASEAN, karena menarik FDI dari negara maju di samping meningkatkan investasi dan perdagangan antar ASEAN.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Oleh karena itu Bank Sentral negara ASEAN menerapkan berbagai kebijakan yang bersifat spesifik dan berjangka waktu relatif pendek, yang ditujukan untuk memelihara kestabilan nilai tukar. Hal itu dimaksudkan agar dapat memberikan peluang yang lebih besar untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi masing-masing negara, yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Namun demikian, hal ini bukan berarti ASEAN akan meninggalkan pendekatan kebijakan yang bersifat terbuka dan berorientasi pasar. Tetapi ASEAN akan tetap mempertahankan kebijakan ekonomi yang terbuka, dengan berupaya mencapai kebijakan arus modal yang stabil dan lancar. Mata uang ASEAN saat ini sangat rentan karena faktor internal dan eksternal. Secara internal, mengecilnya pasar valas menjadi faktor utama. Secara eksternal, rentannya mata uang ASEAN disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketidakseimbangan dunia, kemungkinan naiknya suku bunga The Fed, dan meningkatnya spekulasi dalam rangka mengantisipasi revaluasi yuan. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, perekonomian ASEAN cenderung untuk membatasi spekulasi yang berlebihan akibat meningkatnya arus modal yang kurang terkendali. Upaya lain untuk mengurangi kerentanan eksternal di kawasan regional adalah dengan membuat kesepakatan antara Bank Sentral negara-negara ASEAN.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Disamping itu Bank Indonesia memberikan langkah-langkah inisiatif bagi ekonomi nasional (Indonesia) kedepananya, yang pertama di bidang moneter yang terdiri dari 3 inisiatif yaitu memperdalam pasar keuangan domestik, memperkuat efektivitas penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) dan membangun perangkat analisa kebijakan menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kedua Inisiatif di bidang sektor riil. Perbaikan daya saing daerah untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah kunci bagi perbaikan daya saing nasional di era tersebut (bank Indonesia 2008). Oleh karena itu, Bank Indonesia melihat pentingnya untuk lebih mempertajam fungsi-fungsi advisory dan fasilitasi Kantor-Kantor BI (KBI) di daerah serta pemanfaatnya sebagai pembentuk modal sosial di daerah kerjanya. Oleh karena itu, program Reorientasi KBI perlu perkuat implementasinya (Baharuddin, bank Indonesia 2008). Selain dari tu dalam memperdalam pasar keuangan domestik untuk meningkatkan daya tahan dan stabilitas sistem keuangan serta meminimalisir potensi gejolak dari pasar keuangan global, perlu adanya pasar keuangan domestik yang lebih kuat, dalam dan likuid.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Pertumbuhan ekonomi ASEAN yang cukup tinggi selama tahun 2004 tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya permintaan eksternal dan naiknya harga komoditas non-minyak. Kenaikan harga minyak saat ini akan memberikan dampak yang lebih besar pada ekonomi ASEAN. Kenaikan harga minyak tersebut diperkirakan akan menekan nilai tukar di kawasan ASEAN dan meningkatkan tekanan inflasi. Selain dari itu perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Cina yang menjadi mitra dagang utama negara ASEAN diperkirakan akan memberikan dampak yang cukup signifikan di kawasan ASEAN.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Dari beberapa negara ASEAN, hanya Indonesia dan Kamboja yang revisi pertumbuhan ekonominya dinaikkan. Pertumbuhan ekonomi Thailand direvisi dari 5,6 persen menjadi 4 persen. Malaysia direvisi dari 5,7 persen menjadi 5,1 persen. Filipina direvisi dari 5 persen menjadi 4,7 persen. Sementara Vietnam tetap di kisaran 7,6 persen. Faktor menyebabkan pertumbuhan ekonomi ASEAN bergerak melemah. Misalnya saja Filipina dan Thailand yang cukup terpukul oleh tingginya harga minyak dan gagal panen. Filipina plus Malaysia juga tertekan oleh melambatnya sektor elektronik dunia. Namun khusus untuk Indonesia, ADB menilai faktor-faktor negatif tersebut bisa ditutupi oleh membaiknya iklim investasi. Sementara Vietnam tertolong oleh tingkat pertumbuhan yang baik. Secara keseluruhan, ADB merevisi pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara turun menjadi 5 persen, dari semula 5,4 persen. ADB juga menyebutkan, karena kebanyakan negara Asia adalah net importir minyak dan juga digolongkan sebagai kawasan yang tidak efisien dalam penggunaan energi, maka kawasan Asia sangat rentan oleh kenaikan harga minyak dunia.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
The Global Development Finance (GDF) mencatat, selama tahun 2004, sekitar 74 persen atau US$ 143,7 miliar dari total arus modal yang mengalir ke negara emerging market masuk ke Asia, termasuk ASEAN. Tingginya arus modal masuk ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keterbukaan ekonomi, penerapan kebijakan ekonomi yang market friendly dan prospek ekonomi yang dinilai baik. Meskipun mendapat keuntungan dari masuknya modal (capital inflow) yang sebagian besar di antaranya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI), arus modal juga telah meningkatkan kerentanan terhadap mata uang negara ASEAN. Berdasarkan kepada teori ekonomi dan penelitian sebelumnya, terdapat dua bentuk hubungan antara FDI dengan perdagangan antar negara iaitu sama ada (1) FDI merupakan pengganti atau pelengkap kepada perdagangan antar negara, atau (2) FDI menjadi penyebab kepada perdagangan antar negara atau sebaliknya. Karena FDI dianggap sebagai satu pemicu pertumbuhan ekonomi khususnya melalui pertumbuhan sektor ekspor dan import, menyediakan peluang pekerjaan, transfer teknologi dan sebagainya Foreign direct investment semenjak masuknya ke negara ASEAN tahun 2002 disebabkan semakin menguatnya stabilitas ekonomi dan pasar baik di pasar uang maupun pasar modal. Mengenai perkembangan perekonomian ASEAN-5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina semakin tumbuh dan berkembang. Sedangkan perekonomian ASEAN-4 yang terdiri dari Kamboja, Laos, Myamar dan Vietnam serta Brunei Darusalam semakin terbuka dan tumbuh. Investasi Langsung Luar negeri (FDI) dan perkembangan perdagangan di dunia wujud di negara-negara ASEAN, karena menarik FDI dari negara maju di samping meningkatkan investasi dan perdagangan antar ASEAN.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Oleh karena itu Bank Sentral negara ASEAN menerapkan berbagai kebijakan yang bersifat spesifik dan berjangka waktu relatif pendek, yang ditujukan untuk memelihara kestabilan nilai tukar. Hal itu dimaksudkan agar dapat memberikan peluang yang lebih besar untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi masing-masing negara, yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Namun demikian, hal ini bukan berarti ASEAN akan meninggalkan pendekatan kebijakan yang bersifat terbuka dan berorientasi pasar. Tetapi ASEAN akan tetap mempertahankan kebijakan ekonomi yang terbuka, dengan berupaya mencapai kebijakan arus modal yang stabil dan lancar. Mata uang ASEAN saat ini sangat rentan karena faktor internal dan eksternal. Secara internal, mengecilnya pasar valas menjadi faktor utama. Secara eksternal, rentannya mata uang ASEAN disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketidakseimbangan dunia, kemungkinan naiknya suku bunga The Fed, dan meningkatnya spekulasi dalam rangka mengantisipasi revaluasi yuan. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, perekonomian ASEAN cenderung untuk membatasi spekulasi yang berlebihan akibat meningkatnya arus modal yang kurang terkendali. Upaya lain untuk mengurangi kerentanan eksternal di kawasan regional adalah dengan membuat kesepakatan antara Bank Sentral negara-negara ASEAN.
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean oleh Antoni., SE., ME
Disamping itu Bank Indonesia memberikan langkah-langkah inisiatif bagi ekonomi nasional (Indonesia) kedepananya, yang pertama di bidang moneter yang terdiri dari 3 inisiatif yaitu memperdalam pasar keuangan domestik, memperkuat efektivitas penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) dan membangun perangkat analisa kebijakan menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kedua Inisiatif di bidang sektor riil. Perbaikan daya saing daerah untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah kunci bagi perbaikan daya saing nasional di era tersebut (bank Indonesia 2008). Oleh karena itu, Bank Indonesia melihat pentingnya untuk lebih mempertajam fungsi-fungsi advisory dan fasilitasi Kantor-Kantor BI (KBI) di daerah serta pemanfaatnya sebagai pembentuk modal sosial di daerah kerjanya. Oleh karena itu, program Reorientasi KBI perlu perkuat implementasinya (Baharuddin, bank Indonesia 2008). Selain dari tu dalam memperdalam pasar keuangan domestik untuk meningkatkan daya tahan dan stabilitas sistem keuangan serta meminimalisir potensi gejolak dari pasar keuangan global, perlu adanya pasar keuangan domestik yang lebih kuat, dalam dan likuid.
Neoliberalisme Jadi Ideologi Penggerak Globalisasi
MedanBisnis – Medan. Guru besar dan pakar Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Budi Winarno mengatakan, globalisasi telah menimbulkan marginalisasi sistemik. Globalisasi neoliberal dicirikan oleh liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Dampaknya, neoliberalisme menjadi ideologi penggerak globalisasi sekarang ini.
Hal itu dikatakan Prof Budi Winarno dalam kuliah umum berjudul “Melawan Gurita Neoliberalisme” di Program Pascasarjana UMA di Kampus II Jalan Sei Serayu Medan, Senin (21/2). Kuliah umum dihadiri Direktur Pascasarjana UMA Drs Heri Kusmanto MA dan para Pembantu Direktur serta diikuti mahasiswa program S2.
Dia menjelaskan, negara-negara di dunia “dipaksa” untuk meliberalisasi investasi dan perdagangan, termasuk di sektor pertanian. Baik IMF dan Bank Dunia menjadi sentrum penyebaran ideologi neoliberal.
Tahun 1980-an, Indonesia telah melancarkan serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk semakin memperluas basis ekonomi swasta, baik nasional maupun internasional. Ketika Indonesia mengalami serangkaian krisis moneter, usaha untuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global semakin gencar dilakukan sebagai konsekuensi bantuan IMF.
Sepanjang tahun 1980-1987, ucap Budi, sekitar 30% dari industri menengah kecil mengalami gulung tikar. Sejak investasi asing mengalir masuk ke Indonesia tahun 1967, banyak industri tradisional, khususnya industri tekstil telah bangkrut karena mereka tidak mampu bersaing dengan industri tekstil modern yang dimiliki oleh para pemilik modal asing.
Diperkirakan, selama tahun 1969 sampai dengan tahun 1970 industri-industri tekstil tradisional berjumlah 324 000, namun jumlah industri tersebut telah berkurang drastis dan tinggal sekitar 60.000. Secara konsisten, Indonesia terus meliberalisasi perekonomian dalam negeri sesuai dengan mandat yang diberikan oleh WTO.
Kebijakan neoliberal di sektor pertanian tidak hanya membuat petani semakin kesulitan, tetapi juga menciptakan bentuk baru ketergantungan sektor pertanian. Periode 1989-1991, Indonesia merupakan negara pengeskpor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta/per tahun. Namun, sejak tahun 1994, Indonesia beralih menjadi pengimpor pangan.
Pada 2003, sebagai akibat liberalisasi yang makin intensif, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,4 miliar untuk tanaman pangan dan US$134,4 juta untuk peternakan
Dalam hal impor, pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan rata-rata US$ 863 juta per tahun. Selama periode 1996-2003, Indonesia mengimpor beras 2,83 juta ton, gula 1,6 juta ton, jagung 1,2 juta ton, kedelai 0,8 juta ton.
Untuk itu katanya, negara harus bisa memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Negara bangsa harus tetap melakukan peran krusial dan menentukan dalam era globalisasi ekonomi dan perlu dilakukan penataan kembali posisi (repositioning) birokrasi.
Negara dipandang memiliki kapasitas mendesain instrumen-instrumen pembangunan yang efektif dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi. (ramita harja)
Hal itu dikatakan Prof Budi Winarno dalam kuliah umum berjudul “Melawan Gurita Neoliberalisme” di Program Pascasarjana UMA di Kampus II Jalan Sei Serayu Medan, Senin (21/2). Kuliah umum dihadiri Direktur Pascasarjana UMA Drs Heri Kusmanto MA dan para Pembantu Direktur serta diikuti mahasiswa program S2.
Dia menjelaskan, negara-negara di dunia “dipaksa” untuk meliberalisasi investasi dan perdagangan, termasuk di sektor pertanian. Baik IMF dan Bank Dunia menjadi sentrum penyebaran ideologi neoliberal.
Tahun 1980-an, Indonesia telah melancarkan serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk semakin memperluas basis ekonomi swasta, baik nasional maupun internasional. Ketika Indonesia mengalami serangkaian krisis moneter, usaha untuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global semakin gencar dilakukan sebagai konsekuensi bantuan IMF.
Sepanjang tahun 1980-1987, ucap Budi, sekitar 30% dari industri menengah kecil mengalami gulung tikar. Sejak investasi asing mengalir masuk ke Indonesia tahun 1967, banyak industri tradisional, khususnya industri tekstil telah bangkrut karena mereka tidak mampu bersaing dengan industri tekstil modern yang dimiliki oleh para pemilik modal asing.
Diperkirakan, selama tahun 1969 sampai dengan tahun 1970 industri-industri tekstil tradisional berjumlah 324 000, namun jumlah industri tersebut telah berkurang drastis dan tinggal sekitar 60.000. Secara konsisten, Indonesia terus meliberalisasi perekonomian dalam negeri sesuai dengan mandat yang diberikan oleh WTO.
Kebijakan neoliberal di sektor pertanian tidak hanya membuat petani semakin kesulitan, tetapi juga menciptakan bentuk baru ketergantungan sektor pertanian. Periode 1989-1991, Indonesia merupakan negara pengeskpor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta/per tahun. Namun, sejak tahun 1994, Indonesia beralih menjadi pengimpor pangan.
Pada 2003, sebagai akibat liberalisasi yang makin intensif, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,4 miliar untuk tanaman pangan dan US$134,4 juta untuk peternakan
Dalam hal impor, pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan rata-rata US$ 863 juta per tahun. Selama periode 1996-2003, Indonesia mengimpor beras 2,83 juta ton, gula 1,6 juta ton, jagung 1,2 juta ton, kedelai 0,8 juta ton.
Untuk itu katanya, negara harus bisa memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Negara bangsa harus tetap melakukan peran krusial dan menentukan dalam era globalisasi ekonomi dan perlu dilakukan penataan kembali posisi (repositioning) birokrasi.
Negara dipandang memiliki kapasitas mendesain instrumen-instrumen pembangunan yang efektif dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi. (ramita harja)
Renungan Hari Pahlawan: Antara Selera Pasar, Globalisasi dan Keberlangsungan Peradaban
Hari Pahlawan dilatar-belakangi peristiwa Pertempuran Surabaya yang merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Setidaknya 6,000 – 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 – 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Dalam era globalisasi sekarang ini, pengorbanan para pahlawan saat itu mungkin dianggap aneh karena tidak sesuai dengan “selera pasar“. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Peradaban adalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang “kompleks”: dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun dalam beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki sosial.
Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya” yang populer dalam kalangan akademis. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan … kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat”. Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan beragam kegiatan ekonomi dan budaya.
Dalam sebuah pemahaman lama tetapi masih sering dipergunakan adalah istilah “peradaban” dapat digunakan dalam cara sebagai normatif baik dalam konteks sosial di mana rumit dan budaya kota yang dianggap unggul lain “ganas” atau “biadab” budaya, konsep dari “peradaban” digunakan sebagai sinonim untuk “budaya (dan sering moral) Keunggulan dari kelompok tertentu.” Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti “perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa”. Masyarakat yang mempraktikkan pertanian secara intensif; memiliki pembagian kerja; dan kepadatan penduduk yang mencukupi untuk membentuk kota-kota. “Peradaban” dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan penyebarannya (peradaban manusia atau peradaban global). Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.
Setidaknya 6,000 – 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 – 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Dalam era globalisasi sekarang ini, pengorbanan para pahlawan saat itu mungkin dianggap aneh karena tidak sesuai dengan “selera pasar“. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Peradaban adalah memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang “kompleks”: dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun dalam beragam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki sosial.
Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya” yang populer dalam kalangan akademis. Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan … kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat”. Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan beragam kegiatan ekonomi dan budaya.
Dalam sebuah pemahaman lama tetapi masih sering dipergunakan adalah istilah “peradaban” dapat digunakan dalam cara sebagai normatif baik dalam konteks sosial di mana rumit dan budaya kota yang dianggap unggul lain “ganas” atau “biadab” budaya, konsep dari “peradaban” digunakan sebagai sinonim untuk “budaya (dan sering moral) Keunggulan dari kelompok tertentu.” Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti “perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa”. Masyarakat yang mempraktikkan pertanian secara intensif; memiliki pembagian kerja; dan kepadatan penduduk yang mencukupi untuk membentuk kota-kota. “Peradaban” dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan penyebarannya (peradaban manusia atau peradaban global). Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.
GLOBALISASI DAN BUDAYA
Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat), dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita. Oleh karena itu nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya. Kesenian rakyat, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisai dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka. Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan melalui imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi.
Dampak Globalisasi terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Berlakunya CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area) benar-benar merubah orientasi pasar di negara kita. Bagaimana tidak, belum separuh kita bekerja memperbaiki kondisi perekonomian bangsa ini sudah diterjang oleh pasar bebas yang mengakibatkan pasar industri kita jatuh bangun. Pemberlakuan perdagangan bebas seiring dengan globalisasi sebenarnya sudah lama diprediksi. Di era Presiden Suharto, jajaran kabinetnya sudah mendengungkan soal globalisasi perdagangan yang akan diikuti oleh terbentuknya pasar bebas khususnya dengan RRC. Oleh sebab itu Pak Harto buru-buru menegaskan upaya peningkatan kualitas industri kecil dan menengah dengan orientasi meningkatkan daya saing. Ini tertulis di dalam buku Manajemen Presiden Suharto (Penuturan 17 Menteri). Selain itu pembatasan berpolitik bagi warga negara dengan maksud penguatan ekonomi harus didahulukan, setelah itu baru berpolitik. Namun sayang segalanya tak terealisasi seiring jatuhnya Pemerintahan Suharto.
Kini dengan masuknya barang-barang industri yang serba murah dari RRC, pasar kita harus berjuang keras untuk menemukan jati dirinya sehingga mampu bertahan di pasaran. Masih untung barang industri, bagaimana dampak kepada komoditas pangan? Meroketnya harga komoditas pangan mengingatkan kita terhadap peringatan yang pernah disampaikan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) beberapa waktu yang lalu. Peringatan tersebut tertuang dalam laporan yang berjudul OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016. Laporan tersebut menyebutkan terjadinya perubahan permanen terhadap struktur perdagangan komoditas pangan dunia. Kaitannya yaitu kenaikan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi 12% tahun ini, mungkin belum sempurna tanpa dibarengi dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi, artinya orientasi mana yang akan digunakan oleh pemerintah dan skala prioritas apa dalam pembangunan. Apakah komoditas pangan ataukah sektor riil yang masih perlu diperhatikan, mengingat kondisi perbankan kita masih fluktuatif, suku bunga yang masih tinggi, dan semua ini tentunya amat berpengaruh pada kebijakan fiskal. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada beberapa kebutuhan pokok, kita masih mengimpor dari negara lain.
Saat ini dunia memasuki era baru untuk komoditas pangan dan rasanya mustahil berorientasi pada harga murah. Misalnya, saat ini mustahil dapat mengembalikan harga gula yang semula dahulu adalah Rp. 6000 – Rp. 7000 per kilogram, harga keseimbangan berkisar antara Rp. 9.000 – Rp. 10.000. Kini ancaman ketahanan pangan dapat saja menaikkan harga kebutuhan pokok. Perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian di pasar dunia saat ini memunculkan pertanyaan, apakah kita masih tetap mau mempertahankan kredibilitas kita sebagai negara yang kaya akan sumber agraris, yang pernah mencatat sejarah swasembada bahan pangan? Saat ini tentu petani harus berjuang mati-matian karena dampak dari pemanasan global dan bencana banjir sering mengakibatkan gagal panen sementara harga pupuk yang belum pro-petani turut mempersulit peningkatan kualitas produksi pertanian. Tata cara pemerintah dalam mengatur ekonomi rasanya belum pasti. Kalau kita lihat kebijakan ekonomi di era Gus Dur, beliau sempat mengeluarkan pernyataan supaya sebagian kebun-kebun sawit milik negara dan swasta diberikan kepada rakyat. Pada waktu itu reaksi kebanyakan orang terutama pekebun sawit menganggap bahwa kebijakan itu tidak masuk akal. Akibatnya gagasan itu tidak terlaksana. Bahkan sehari sebelum terpilih menjadi PresidenRI seperti diungkapkan pengamat politik Eep Saefullah Fatah, Gus Dur mengatakan, “Sebagai Presiden atas negara yang berdaulat, tidak boleh ada kekuatan lain yang mengatur saya dan Indonesia.” Prinsip Independensi ini sangat bertentangan tentunya dengan kepentingan asing yang waktu itu terakomodasi di dalam IMF. Lalu bagaimana prinsip ekonomi yang berjalan saat ini, utamanya mengatasi kesulitan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pangan? Perlu dicatat bahwa bangsa ini pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba, apalagi di bawah kendali Belanda pada waktu itu pada tahun 1925 produksi gula pulau Jawa mencapai 3 juta ton. Saat ini Indonesia masih tercatat sebagai importir utama beberapa komoditas pangan seperti kedelai, gula, terigu hingga garam.
Bagaimanapun FAO pernah mengingatkan bahwa suatu negara yang berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak akan dapat membuat rakyatnya sejahtera bila pemenuhan kebutuhan pokoknya selalu diimpor. Kita dapat memetik pelajaran berharga dari peristiwa Uni Soviet. Negara tersebut hancur berkeping-keping bukannya karena mendapat serangan militer dari negara-negara Barat, akan tetapi karena terjebak dalam krisis pangan, dimana Uni Soviet yang memiliki orientasi impor akhirnya terperangkap dalam jebakan pangan (food trap). Setiap tahun devisa negara kita terkuras tidak kurang dari 50 trilyun untuk impor bahan pangan, angka itu amat tinggi karena melampaui total anggaran sektor pertanian pada 2009 yaitu 40 trilyun. Perlu diketahui bahwa APBD kabupaten / kota di Indonesia saat ini kurang dari 1 trilyun pertahun. Dari sini jelas bahwa harus ada upaya pemerintah untuk segera membuat kebijakan strategis dalam bidang ekonomi sehingga kita memiliki ketahanan dalam bidang pangan.
Kita dapat mencontoh bagaimana RRC mampu bersaing dengan Barat soal ekonomi. RRC adalah negara yang memiliki kebijakan perekonomian hampir seluruhnya ekspor. Kebijakan fiskal negaranya yang hanya menetapkan bunga bank sebesar 1-2% sangat menguntungkan bagi para produsen, sehingga mereka dapat menjual produknya dengan harga yang tentu saja lebih murah. Selain itu RRC memberikan peluang kepada warganya yang memiliki konsep atau ide pengembangan dalam bidang ekonomi dengan memberikan fasilitas lengkap dan memadai, dengan demikian akan memacu sumber daya manusia di RRC untuk bersaing secara sehat dan mandiri.
Seperti yang telah kita bersama pahami bahwa negara kita memiliki pinjaman luar negeri yang sangat besar, setiap tahun kita harus membayar bunga hutang yang besarnya kurang lebih setara dengan pokok pinjaman. Hutang itu sendiri masih terbagi atas dua bagian, yaitu hutang luar negeri dan dalam negeri. Sementara di sisi lain, pemerintah masih harus berjuang keras melawan para koruptor, karena setiap tahunnya negara dirugikan hingga trilyunan rupiah. Sebagai bagian dari bangsa ini, tentunya kita bercita-cita menjadi bangsa yang mandiri dari sisi ekonomi. Namun kemandirian ekonomi Indonesia yang diharapkan masih menuai jalan yang panjang dan berliku. Setidaknya terdapat dua hal yang menjadi hambatan besar, yaitu kuatnya dominasi asing atas perekonomian Indonesia, serta dominasi pihak swasta dalam memimpin arah kebijakan ekonomi kita. Saat ini hampir di semua sektor, baik industri, pariwisata, perdagangan dan bahkan pendidikan dikuasai oleh swasta. Hal ini tidak berarti bahwa tanpa pola seperti ini kita tidak bisa sejahtera, namun patut disadari bahwa daya serap tenaga kerja kita untuk sektor tersebut masih sangat sedikit. Kalaupun tersedia domain kita masih pada tenaga kerja yang tidak berada pada level menengah ke atas. Hal ini berkait dengan status sosial warga Indonesia asli, serta ekonomi kerakyatan secara tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini tentu keberadaan BUMN adalah sangat dominan namun pada kenyataannya BUMN yang kita andalkan seringkali mengalami kerugian. Kedua, kita belum dapat menjawab sebenarnya sistem perekonomian seperti apa yang ingin kita terapkan. Meskipun ekonomi kerakyatan adalah sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, namun upaya pemerataan ekonomi masih menimbulkan tanda tanya.
Saat ini, di tengah era globalisasi yang sarat dengan teknologi dan informasi, kita amat tergantung pada dunia barat. Mayoritas masyarakat kita adalah pengguna teknologi komputer dan internet dimana bisnis ini dikuasai oleh asing secara dominan. Dapatkah kita bayangkan berapa pendapatan sebuah pabrik internet Yahoo atau Google di Amerika? Jangan-jangan masyarakat kita adalah pengguna produk mereka yang terbesar. Bila ini terjadi tentu kita telah menyumbang dana ke negara-negara maju, suatu hal yang ironis mengingat rakyat kita sendiri masih banyak yang hidup miskin. Kehadiran teknologi memang sangat penting namun harus diiringi dengan kemampuan sumber daya manusia dan kebijakan ekonomi yang berorientasi nasional. Kita baru bisa membayangkan andaikata manusia Indonesia bukan hanya pengguna produk asing namun juga mampu menciptakannya. Bayangkan apabila internet diciptakan oleh orang Indonesia dan pabriknya ada di Jakarta, tentu itu mungkin masih sebatas mimpi. Saat ini saja perusahaan asing seperti Exxon menghasilkan PDB ( Produk Domestik Bruto ) yang hampir setara dengan yang dimiliki oleh negara kita. Kalau berpikir mudah, semestinya Exxon dinasionalisasikan saja supaya bisa menghasilkan devisa yang besar untuk Indonesia. Namun tentu itu tidaklah mungkin karena kebijakan negara kreditor dalam meminjamkan dana ke negara kita tentunya melarang hal tersebut. Saat ini pasar teknologi dan industri situasinya berkebalikan dengan pasar bahan pangan. Perkembangannya sangat pesat dan melaju nyaris tanpa kendali. Hal ini disebabkan karena masuknya globalisasi yang sekaligus bermutasi dengan iklim kebebasan yang diusung oleh era reformasi, sehingga masyarakat butuh dua hal, komunikasi dan hiburan. Pernyataan ini nampaknya sederhana namun desakannya kuat belakangan ini. Hampir semua tayangan di televisi menyajikan aneka macam hiburan bagaikan masakan. Persaingan dalam dunia entertaiment tidak menciptakan kerugian. Semua hampir pasti diuntungkan, bahkan para artis dan aktornya pun mendapat kedudukan yang terhormat, bukan hanya beberapa dari mereka menjadi figur pejabat namun juga dielu-elukan serta disambut secara resmi ketika berkunjung ke daerah. Artinya, dunia entertainment mampu merubah paradigma berpikir masyarakat. Di bidang komunikasi, hampir semua lapisan masyarakat adalah pengguna telepon seluler, komputer maupun internet, baik sebagai alat komunikasi ataupun hiburan. Kalau demikian, yang terjadi apakah kita bisa menjadi miskin karenanya? Tetapi faktanya sebagian besar masyarakat menggunakan internet dan telepon seluler sehingga logikanya mereka tak dapat dikatakan kekurangan. Jadi dampak teknologi, informasi dan hiburan di era globalisasi memiskinkan atau memakmurkan?
Kini dengan masuknya barang-barang industri yang serba murah dari RRC, pasar kita harus berjuang keras untuk menemukan jati dirinya sehingga mampu bertahan di pasaran. Masih untung barang industri, bagaimana dampak kepada komoditas pangan? Meroketnya harga komoditas pangan mengingatkan kita terhadap peringatan yang pernah disampaikan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) beberapa waktu yang lalu. Peringatan tersebut tertuang dalam laporan yang berjudul OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016. Laporan tersebut menyebutkan terjadinya perubahan permanen terhadap struktur perdagangan komoditas pangan dunia. Kaitannya yaitu kenaikan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi 12% tahun ini, mungkin belum sempurna tanpa dibarengi dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi, artinya orientasi mana yang akan digunakan oleh pemerintah dan skala prioritas apa dalam pembangunan. Apakah komoditas pangan ataukah sektor riil yang masih perlu diperhatikan, mengingat kondisi perbankan kita masih fluktuatif, suku bunga yang masih tinggi, dan semua ini tentunya amat berpengaruh pada kebijakan fiskal. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada beberapa kebutuhan pokok, kita masih mengimpor dari negara lain.
Saat ini dunia memasuki era baru untuk komoditas pangan dan rasanya mustahil berorientasi pada harga murah. Misalnya, saat ini mustahil dapat mengembalikan harga gula yang semula dahulu adalah Rp. 6000 – Rp. 7000 per kilogram, harga keseimbangan berkisar antara Rp. 9.000 – Rp. 10.000. Kini ancaman ketahanan pangan dapat saja menaikkan harga kebutuhan pokok. Perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian di pasar dunia saat ini memunculkan pertanyaan, apakah kita masih tetap mau mempertahankan kredibilitas kita sebagai negara yang kaya akan sumber agraris, yang pernah mencatat sejarah swasembada bahan pangan? Saat ini tentu petani harus berjuang mati-matian karena dampak dari pemanasan global dan bencana banjir sering mengakibatkan gagal panen sementara harga pupuk yang belum pro-petani turut mempersulit peningkatan kualitas produksi pertanian. Tata cara pemerintah dalam mengatur ekonomi rasanya belum pasti. Kalau kita lihat kebijakan ekonomi di era Gus Dur, beliau sempat mengeluarkan pernyataan supaya sebagian kebun-kebun sawit milik negara dan swasta diberikan kepada rakyat. Pada waktu itu reaksi kebanyakan orang terutama pekebun sawit menganggap bahwa kebijakan itu tidak masuk akal. Akibatnya gagasan itu tidak terlaksana. Bahkan sehari sebelum terpilih menjadi PresidenRI seperti diungkapkan pengamat politik Eep Saefullah Fatah, Gus Dur mengatakan, “Sebagai Presiden atas negara yang berdaulat, tidak boleh ada kekuatan lain yang mengatur saya dan Indonesia.” Prinsip Independensi ini sangat bertentangan tentunya dengan kepentingan asing yang waktu itu terakomodasi di dalam IMF. Lalu bagaimana prinsip ekonomi yang berjalan saat ini, utamanya mengatasi kesulitan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pangan? Perlu dicatat bahwa bangsa ini pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba, apalagi di bawah kendali Belanda pada waktu itu pada tahun 1925 produksi gula pulau Jawa mencapai 3 juta ton. Saat ini Indonesia masih tercatat sebagai importir utama beberapa komoditas pangan seperti kedelai, gula, terigu hingga garam.
Bagaimanapun FAO pernah mengingatkan bahwa suatu negara yang berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak akan dapat membuat rakyatnya sejahtera bila pemenuhan kebutuhan pokoknya selalu diimpor. Kita dapat memetik pelajaran berharga dari peristiwa Uni Soviet. Negara tersebut hancur berkeping-keping bukannya karena mendapat serangan militer dari negara-negara Barat, akan tetapi karena terjebak dalam krisis pangan, dimana Uni Soviet yang memiliki orientasi impor akhirnya terperangkap dalam jebakan pangan (food trap). Setiap tahun devisa negara kita terkuras tidak kurang dari 50 trilyun untuk impor bahan pangan, angka itu amat tinggi karena melampaui total anggaran sektor pertanian pada 2009 yaitu 40 trilyun. Perlu diketahui bahwa APBD kabupaten / kota di Indonesia saat ini kurang dari 1 trilyun pertahun. Dari sini jelas bahwa harus ada upaya pemerintah untuk segera membuat kebijakan strategis dalam bidang ekonomi sehingga kita memiliki ketahanan dalam bidang pangan.
Kita dapat mencontoh bagaimana RRC mampu bersaing dengan Barat soal ekonomi. RRC adalah negara yang memiliki kebijakan perekonomian hampir seluruhnya ekspor. Kebijakan fiskal negaranya yang hanya menetapkan bunga bank sebesar 1-2% sangat menguntungkan bagi para produsen, sehingga mereka dapat menjual produknya dengan harga yang tentu saja lebih murah. Selain itu RRC memberikan peluang kepada warganya yang memiliki konsep atau ide pengembangan dalam bidang ekonomi dengan memberikan fasilitas lengkap dan memadai, dengan demikian akan memacu sumber daya manusia di RRC untuk bersaing secara sehat dan mandiri.
Seperti yang telah kita bersama pahami bahwa negara kita memiliki pinjaman luar negeri yang sangat besar, setiap tahun kita harus membayar bunga hutang yang besarnya kurang lebih setara dengan pokok pinjaman. Hutang itu sendiri masih terbagi atas dua bagian, yaitu hutang luar negeri dan dalam negeri. Sementara di sisi lain, pemerintah masih harus berjuang keras melawan para koruptor, karena setiap tahunnya negara dirugikan hingga trilyunan rupiah. Sebagai bagian dari bangsa ini, tentunya kita bercita-cita menjadi bangsa yang mandiri dari sisi ekonomi. Namun kemandirian ekonomi Indonesia yang diharapkan masih menuai jalan yang panjang dan berliku. Setidaknya terdapat dua hal yang menjadi hambatan besar, yaitu kuatnya dominasi asing atas perekonomian Indonesia, serta dominasi pihak swasta dalam memimpin arah kebijakan ekonomi kita. Saat ini hampir di semua sektor, baik industri, pariwisata, perdagangan dan bahkan pendidikan dikuasai oleh swasta. Hal ini tidak berarti bahwa tanpa pola seperti ini kita tidak bisa sejahtera, namun patut disadari bahwa daya serap tenaga kerja kita untuk sektor tersebut masih sangat sedikit. Kalaupun tersedia domain kita masih pada tenaga kerja yang tidak berada pada level menengah ke atas. Hal ini berkait dengan status sosial warga Indonesia asli, serta ekonomi kerakyatan secara tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini tentu keberadaan BUMN adalah sangat dominan namun pada kenyataannya BUMN yang kita andalkan seringkali mengalami kerugian. Kedua, kita belum dapat menjawab sebenarnya sistem perekonomian seperti apa yang ingin kita terapkan. Meskipun ekonomi kerakyatan adalah sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, namun upaya pemerataan ekonomi masih menimbulkan tanda tanya.
Saat ini, di tengah era globalisasi yang sarat dengan teknologi dan informasi, kita amat tergantung pada dunia barat. Mayoritas masyarakat kita adalah pengguna teknologi komputer dan internet dimana bisnis ini dikuasai oleh asing secara dominan. Dapatkah kita bayangkan berapa pendapatan sebuah pabrik internet Yahoo atau Google di Amerika? Jangan-jangan masyarakat kita adalah pengguna produk mereka yang terbesar. Bila ini terjadi tentu kita telah menyumbang dana ke negara-negara maju, suatu hal yang ironis mengingat rakyat kita sendiri masih banyak yang hidup miskin. Kehadiran teknologi memang sangat penting namun harus diiringi dengan kemampuan sumber daya manusia dan kebijakan ekonomi yang berorientasi nasional. Kita baru bisa membayangkan andaikata manusia Indonesia bukan hanya pengguna produk asing namun juga mampu menciptakannya. Bayangkan apabila internet diciptakan oleh orang Indonesia dan pabriknya ada di Jakarta, tentu itu mungkin masih sebatas mimpi. Saat ini saja perusahaan asing seperti Exxon menghasilkan PDB ( Produk Domestik Bruto ) yang hampir setara dengan yang dimiliki oleh negara kita. Kalau berpikir mudah, semestinya Exxon dinasionalisasikan saja supaya bisa menghasilkan devisa yang besar untuk Indonesia. Namun tentu itu tidaklah mungkin karena kebijakan negara kreditor dalam meminjamkan dana ke negara kita tentunya melarang hal tersebut. Saat ini pasar teknologi dan industri situasinya berkebalikan dengan pasar bahan pangan. Perkembangannya sangat pesat dan melaju nyaris tanpa kendali. Hal ini disebabkan karena masuknya globalisasi yang sekaligus bermutasi dengan iklim kebebasan yang diusung oleh era reformasi, sehingga masyarakat butuh dua hal, komunikasi dan hiburan. Pernyataan ini nampaknya sederhana namun desakannya kuat belakangan ini. Hampir semua tayangan di televisi menyajikan aneka macam hiburan bagaikan masakan. Persaingan dalam dunia entertaiment tidak menciptakan kerugian. Semua hampir pasti diuntungkan, bahkan para artis dan aktornya pun mendapat kedudukan yang terhormat, bukan hanya beberapa dari mereka menjadi figur pejabat namun juga dielu-elukan serta disambut secara resmi ketika berkunjung ke daerah. Artinya, dunia entertainment mampu merubah paradigma berpikir masyarakat. Di bidang komunikasi, hampir semua lapisan masyarakat adalah pengguna telepon seluler, komputer maupun internet, baik sebagai alat komunikasi ataupun hiburan. Kalau demikian, yang terjadi apakah kita bisa menjadi miskin karenanya? Tetapi faktanya sebagian besar masyarakat menggunakan internet dan telepon seluler sehingga logikanya mereka tak dapat dikatakan kekurangan. Jadi dampak teknologi, informasi dan hiburan di era globalisasi memiskinkan atau memakmurkan?
Menyikapi Globalisasi dan Meningkatkan Budaya Kewirausahaan
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke 21 ini
yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan
globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu.
Bila di telusuri benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal
perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu para pedagang dari
Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalur darat maupun melalui jalur
laut untuk berdagang.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia
dan Afrika kemudian dilanjutkan dengan adanya eksplorasi dunia secara besar-besaran
oleh bangsa Eropa. Hal ini di dukung pula dengan terjadinya industri yang meningkatkan
keterkaitan antar bangsa di dunia. Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan
bahan baku serta pasar juga munculnya berbagai perusahan multinasional di dunia.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya. Ketika perang
dingin dan komunis di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi kebenaran
bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia.
Implikasinya, Negara-negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas.
Hal ini didukung pula dengan perkembangan tekhnologi komunikasi dan transportasi.
Hasilnya batas-batas negara manjadi kabur.
Pada dasarnya globalisasi merupakan karakteristik hubungan antara produk bumi
yang melampaui batas-batas konvensional seperti bangsa dan negara. Globalisasi yang
mempengaruhi kehidupan antar bangsa dan negara di dunia bukan hanya tantangan, tetapi
juga sekaligus merupakan peluang. Tantangan merupakan fenomena yang semakin
ektensif yang mengakibatkan batas-batas politik, ekonomi antar bangsa menjadi samar
dan hubungan antar bangsa menjadi begitu transparan. Globalisasi memiliki
implementasi yang luas terhadap penghidupan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ditinjau dari prespektif kebangsaan, globalisasi menimbulkan kesadaran bahwa
kita merupakan warga dari suatu masyarakat global dan mengambil manfaat darinya,
namun disisi lain, makin tumbuh pula dorongan untuk tumbuh lebih melestarikan dan
memperkuat jati diri bangsa. Di era globalisasi, bangsa-bangsa bersatu secara
mengglobal, tetapi bersamaan dengan itu muncul pula rasa kebangsaan yang berlebihlebihan
(cauvinisme) masing-masing bangsa. Hal inilah yang menyebabkan globalisasi
merupakan era tekhnologi informasi, komunikasi dan transportasi.
Kekuasaan negara-negara maju ini, sudah melampaui batas-batas konvensional
yang sudah tidak bisa di bendung lagi. Contohnya saja kekuasaan Negara yang mencakup
seluruh wilayah yang tidak hanya berupa tanah, tetapi juga laut sekelilingnya dan juga
angkasa. Karena kemajuan tekhnologi dewasa ini, masalah wilayah menjadi lebih rumit
dibandingkan masa lampau. Kemajuan teknologi telah memungkinkan pengeboran
minyak lepas pantai mendorong sejumlah besar negara untuk menuntut penguasaan
wilayah yang lebih luas.
Akibatnya globalisasi berpengaruh terhadap ekonomi antara lain dalam bentuk
semakin tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional yang beroperasi tanpa
mengenal batas-batas negara. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas negara akan
menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian
internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membawa
peluang pasar produk dari dalam negri ke pasar internasional secara kompetitif,
sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global kedalam pasar
domestic. Secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian
global yang di tandai dengan adanya kekuatan pasar dunia. Maka dari itu kita sebagai
warga negara harus bisa bersaing dengan dengan negara lain agar kita tidak tersingkirkan
oleh ketatnya persaingan dalam era globalisasi ini.
Globalisasi merupakan kata yang sangat populer diperbincangkan dewasa ini. Apa
sebenarnya globalisasi? Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan
dengan peningkatan keterkaitan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk bentuk interaksi yang
lain. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan
berkurangnya peran negara atau batas batas negara. Makalah ini akan berusaha
mendiskusikan bagaimana kita selaku mahasiswa dan UMKM dapat meningkatkan
budaya kewirausahaan dalam rangka menyikapi era globalisasi.
yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan
globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu.
Bila di telusuri benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal
perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu para pedagang dari
Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalur darat maupun melalui jalur
laut untuk berdagang.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia
dan Afrika kemudian dilanjutkan dengan adanya eksplorasi dunia secara besar-besaran
oleh bangsa Eropa. Hal ini di dukung pula dengan terjadinya industri yang meningkatkan
keterkaitan antar bangsa di dunia. Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan
bahan baku serta pasar juga munculnya berbagai perusahan multinasional di dunia.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya. Ketika perang
dingin dan komunis di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi kebenaran
bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia.
Implikasinya, Negara-negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas.
Hal ini didukung pula dengan perkembangan tekhnologi komunikasi dan transportasi.
Hasilnya batas-batas negara manjadi kabur.
Pada dasarnya globalisasi merupakan karakteristik hubungan antara produk bumi
yang melampaui batas-batas konvensional seperti bangsa dan negara. Globalisasi yang
mempengaruhi kehidupan antar bangsa dan negara di dunia bukan hanya tantangan, tetapi
juga sekaligus merupakan peluang. Tantangan merupakan fenomena yang semakin
ektensif yang mengakibatkan batas-batas politik, ekonomi antar bangsa menjadi samar
dan hubungan antar bangsa menjadi begitu transparan. Globalisasi memiliki
implementasi yang luas terhadap penghidupan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ditinjau dari prespektif kebangsaan, globalisasi menimbulkan kesadaran bahwa
kita merupakan warga dari suatu masyarakat global dan mengambil manfaat darinya,
namun disisi lain, makin tumbuh pula dorongan untuk tumbuh lebih melestarikan dan
memperkuat jati diri bangsa. Di era globalisasi, bangsa-bangsa bersatu secara
mengglobal, tetapi bersamaan dengan itu muncul pula rasa kebangsaan yang berlebihlebihan
(cauvinisme) masing-masing bangsa. Hal inilah yang menyebabkan globalisasi
merupakan era tekhnologi informasi, komunikasi dan transportasi.
Kekuasaan negara-negara maju ini, sudah melampaui batas-batas konvensional
yang sudah tidak bisa di bendung lagi. Contohnya saja kekuasaan Negara yang mencakup
seluruh wilayah yang tidak hanya berupa tanah, tetapi juga laut sekelilingnya dan juga
angkasa. Karena kemajuan tekhnologi dewasa ini, masalah wilayah menjadi lebih rumit
dibandingkan masa lampau. Kemajuan teknologi telah memungkinkan pengeboran
minyak lepas pantai mendorong sejumlah besar negara untuk menuntut penguasaan
wilayah yang lebih luas.
Akibatnya globalisasi berpengaruh terhadap ekonomi antara lain dalam bentuk
semakin tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional yang beroperasi tanpa
mengenal batas-batas negara. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas negara akan
menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian
internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membawa
peluang pasar produk dari dalam negri ke pasar internasional secara kompetitif,
sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global kedalam pasar
domestic. Secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian
global yang di tandai dengan adanya kekuatan pasar dunia. Maka dari itu kita sebagai
warga negara harus bisa bersaing dengan dengan negara lain agar kita tidak tersingkirkan
oleh ketatnya persaingan dalam era globalisasi ini.
Globalisasi merupakan kata yang sangat populer diperbincangkan dewasa ini. Apa
sebenarnya globalisasi? Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan
dengan peningkatan keterkaitan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk bentuk interaksi yang
lain. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan
berkurangnya peran negara atau batas batas negara. Makalah ini akan berusaha
mendiskusikan bagaimana kita selaku mahasiswa dan UMKM dapat meningkatkan
budaya kewirausahaan dalam rangka menyikapi era globalisasi.
GLOBALISASI, RELIGIUSITAS, AGAMA, DAN MAHASISWA
Setelah mengamati globalisasi selama puluhan tahun terakhir ini, kita semua kiranya mampu melihat hasil-hasil positif maupun akibat-akibat negatif yang muncul darinya. Berikut adalah beberapa hal yang dapat kita lihat dengan cukup mudah, tanpa harus mengadakan penelitian yang rumit dan menggunakan alat yang canggih.
Di bidang ekonomi, globalisasi telah memunculkan beberapa “pasar raksasa”. Uni Eropa dan Asia, misalnya, kiranya boleh dilihat sebagai dua “pasar raksasa” yang baru, yang memiliki potensi untuk menjadi pesaing bagi Amerika Utara, yang barangkali layak kita sebut sebagai “pasar raksasa” yang pertama. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Amerika Selatan juga berpotensi untuk berkembang menjadi “pasar raksasa” yang keempat. Salah satu hasil positif dari adanya beberapa “pasar raksasa” itu adalah meningkatnya kesempatan bagi semakin banyak bangsa di bumi ini untuk ikut mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Dan bersamaan dengan itu, salah satu akibat negatif darinya adalah meningkatnya risiko kerugian atau bahkan kebangkrutan, yang dapat diderita oleh beberapa bangsa, yang tidak cukup mampu untuk bersaing “secara bebas” pada “pasar-pasar raksasa” itu.4
Di bidang politik, globalisasi hampir-hampir menghapus adanya Blok Barat dan Blok Timur. Akhir-akhir ini, lobby-lobby politik antarbangsa bergerak begitu luwes dan cepat, sedemikian dinamis sehingga di dunia ini mulai muncul “blok-blok sementara”, yang dapat terbentuk secara cepat namun dapat bubar secara cepat pula. Salah satu hasil positif dari “cairnya” hubungan-hubungan antarbangsa itu adalah semakin meningkatnya kebebasan banyak bangsa untuk memilih partner kerjasama, dalam menghadapi tantangan-tantangan yang sama atau serupa. Tidak ada lagi bangsa, betapapun kuatnya, yang dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya sepenuhnya dengan kekuatannya sendiri. Dalam menghadapi masalah terorisme, misalnya, bisa saja bangsa Indonesia bekerjasama dengan bangsa Amerika dan bangsa Australia. Sementara itu, dalam menghadapi masalah lapangan kerja, bangsa Indonesia barangkali lebih memerlukan kerjasama dengan bangsa Malaysia, Brunei, Korea, Jepang, dan negara-negara Arab. Namun, di masa depan, “cairnya” hubungan antarbangsa semacam itu juga dapat menimbulkan akibat yang negatif. Tidak adanya Blok yang solid seperti pada abad yang lalu itu mungkin saja menumbuhkan sikap politik “opportunistik” pada banyak politisi dan pemimpin bangsa.5
Di bidang ekonomi, globalisasi telah memunculkan beberapa “pasar raksasa”. Uni Eropa dan Asia, misalnya, kiranya boleh dilihat sebagai dua “pasar raksasa” yang baru, yang memiliki potensi untuk menjadi pesaing bagi Amerika Utara, yang barangkali layak kita sebut sebagai “pasar raksasa” yang pertama. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Amerika Selatan juga berpotensi untuk berkembang menjadi “pasar raksasa” yang keempat. Salah satu hasil positif dari adanya beberapa “pasar raksasa” itu adalah meningkatnya kesempatan bagi semakin banyak bangsa di bumi ini untuk ikut mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Dan bersamaan dengan itu, salah satu akibat negatif darinya adalah meningkatnya risiko kerugian atau bahkan kebangkrutan, yang dapat diderita oleh beberapa bangsa, yang tidak cukup mampu untuk bersaing “secara bebas” pada “pasar-pasar raksasa” itu.4
Di bidang politik, globalisasi hampir-hampir menghapus adanya Blok Barat dan Blok Timur. Akhir-akhir ini, lobby-lobby politik antarbangsa bergerak begitu luwes dan cepat, sedemikian dinamis sehingga di dunia ini mulai muncul “blok-blok sementara”, yang dapat terbentuk secara cepat namun dapat bubar secara cepat pula. Salah satu hasil positif dari “cairnya” hubungan-hubungan antarbangsa itu adalah semakin meningkatnya kebebasan banyak bangsa untuk memilih partner kerjasama, dalam menghadapi tantangan-tantangan yang sama atau serupa. Tidak ada lagi bangsa, betapapun kuatnya, yang dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya sepenuhnya dengan kekuatannya sendiri. Dalam menghadapi masalah terorisme, misalnya, bisa saja bangsa Indonesia bekerjasama dengan bangsa Amerika dan bangsa Australia. Sementara itu, dalam menghadapi masalah lapangan kerja, bangsa Indonesia barangkali lebih memerlukan kerjasama dengan bangsa Malaysia, Brunei, Korea, Jepang, dan negara-negara Arab. Namun, di masa depan, “cairnya” hubungan antarbangsa semacam itu juga dapat menimbulkan akibat yang negatif. Tidak adanya Blok yang solid seperti pada abad yang lalu itu mungkin saja menumbuhkan sikap politik “opportunistik” pada banyak politisi dan pemimpin bangsa.5
GLOBALISASI DAN TATA RUANG WIILAYAH DAN KOTA DARI ERA BOOM EKONOMII KE OTONOMII DAERAH DAN DESENTRALIISASII FIISKAL
Di masa silam, tata ruang serta perkembangan wilayah dan
kota lebih dipandang sebagai fenomena internal saja, namun kini
dengan semakin terintegrasinya perekonomian secara global, harus
diakui bahwa tata ruang bukanlah suatu fenomena internal semata,
tetapi dinamikanya sangat dipengaruhi faktor-faktor global.
Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun yang lalu, bahwa
gejala globalisasi ekonomi akan melanda dunia dengan sangat
hebat, memasuki abad 21. Globalisasi, yang pada dasarnya ditandai
dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang, serta informasi,
pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya
sistem sosioekonomi dan politik secara global. Seperti dikemukakan
Castells (1996) bahwa space of places telah berubah menjadi space
of flows. Tentu saja, hal ini, berdampak luar biasa pada negara
sedang berkembang, seperti Indonesia, sehingga masalah
pembangunan yang dihadapi negara sedang semakin rumit.
Globalisasi tidak mengenal batas-batas yurisdiksi negara
ataupun propinsi (sub-nation). Contohnya dapat disaksikan pada
hubungan berbagai wilayah (negara) yang berbatasan secara
langsung, misalnya Hongkong (sebelum manjadi bagian dari Cina)
dengan beberapa Propinsi di Cina Selatan, seperti Ghuang Zhu;
Mexico dengan Amerika Serikat, khususnya disekitar negara bagian
Texas dan California; dan Segitiga Pertumbuhan
kota lebih dipandang sebagai fenomena internal saja, namun kini
dengan semakin terintegrasinya perekonomian secara global, harus
diakui bahwa tata ruang bukanlah suatu fenomena internal semata,
tetapi dinamikanya sangat dipengaruhi faktor-faktor global.
Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun yang lalu, bahwa
gejala globalisasi ekonomi akan melanda dunia dengan sangat
hebat, memasuki abad 21. Globalisasi, yang pada dasarnya ditandai
dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang, serta informasi,
pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya
sistem sosioekonomi dan politik secara global. Seperti dikemukakan
Castells (1996) bahwa space of places telah berubah menjadi space
of flows. Tentu saja, hal ini, berdampak luar biasa pada negara
sedang berkembang, seperti Indonesia, sehingga masalah
pembangunan yang dihadapi negara sedang semakin rumit.
Globalisasi tidak mengenal batas-batas yurisdiksi negara
ataupun propinsi (sub-nation). Contohnya dapat disaksikan pada
hubungan berbagai wilayah (negara) yang berbatasan secara
langsung, misalnya Hongkong (sebelum manjadi bagian dari Cina)
dengan beberapa Propinsi di Cina Selatan, seperti Ghuang Zhu;
Mexico dengan Amerika Serikat, khususnya disekitar negara bagian
Texas dan California; dan Segitiga Pertumbuhan
Globalisasi dan Pendidikan
Pada era globalisasi ini, kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara. Dalam kaitan ini, Indonesia harus mereformasi pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. Bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi faktor pendidikan di era globalisasi ini, akan menjadi ancaman yang mengerikan berupa runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas.
Fenomena globalisasi, yang telah mengubah sedemikian rupa pola perdagangan dunia, informasi dan komunikasi, serta hubungan perekonomian di akhir abad kedua puluh, membawa pengaruh perubahan yang sama di bidang pendidikan di awal abad kedua puluh satu.
Pilihan pendidikan saat ini, sudah tidak lagi tersekat pada batasan-batasan teritorial sebuah negara. Perubahan-perubahan sistem pembelajaran seperti transnational education, internet based learning, distance learning, kampus-kampus jarak jauh (offshore campus), franchise institution, telah berkembang sedemikian rupa pesatnya di berbagai negara. Hal ini memberi kesempatan kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk memilih lembaga pendidikan dan atau sistem pembelajaran yang diinginkannya, baik di negara asal maupun di luar negeri.
Persaingan global pun sangat terbuka bagi pelajar mahasiswa yang “berprestasi dan cemerlang”, karena di era global ini banyak negara yang menjadikan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditi ekspor. Sepanjang sejarah kemanusiaan baru di era inilah masyarakat pendidikan, pelajar, mahasiwa, pengajar, dan civitas akademika lainnya mempunyai kesempatan untuk masuk dalam apa yang disebut sebagai “pasar dunia” atau global market.
Bagi para pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan di Indonesia, era ini tentu saja memberikan banyak kesempatan sekaligus sebagai sebuah ancaman, atau setidaknya tantangan atau bahkan era ini merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bangkit menyejajarkan dirinya dengan negara-negara lain di dunia.
Ancaman yang sangat mengerikan bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi faktor pendidikan di era globalisasi ini adalah runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas. Sumber daya manusia yang dimiliki tidak mampu bersaing dalam berbagai sektor kehidupan membuat Indonesia semakin terdesak mundur dan kalah dalam persaingan menata kehidupan sosial, ekonomi, politik, pertahanan, dan lainnya.
Ketergantungan yang terus-menerus terhadap orang, institusi dan negara lain membuat ketidakpercayaan terhadap diri sendiri yang semakin dalam sehingga banyak hal harus ditentukan oleh orang, institusi dan negara lain. Sementara pada era globalisasi kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara.
Indonesia harus mereformasi kembali pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain.
Ancaman yang disebutkan di atas adalah tantangan yang harus dihadapi dengan keseriusan dan penuh keyakinan, karena untuk kembali menata pendidikan sebagai kunci keberhasilan sebuah negara kita menghadapi berbagai tantangan yang sifatnya intern maupun ekstern.
Tantangan secara intern yang jelas adalah, bahwa banyak di antara pelajar, mahasiswa bahkan orang tua palajar Indonesia, masih melihat Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat untuk tujuan belajar, baik itu untuk tingkat sarjana ataupun pascasarjana. Hal ini disebabkan mutu pendidikan di negeri ini terus dan terus menurun, juga masih saja kekurangan fasilitas, termasuk di dalamnya kurangnya fasilitas komputer dan akses internet, dan alat bantu modern lain yang dibutuhkan.
Kekurangan tersebut tidak saja monopoli lembaga-lembaga pendidikan tinggi daerah, baik milik pemerintah maupun swasta, tetapi juga berlaku pada lembaga pendidikan di kota-kota besar. Hanya sedikit saja di antaranya yang memiliki kemapanan berupa kecukupan alat bantu modern. Mereka masih belum mampu menarik minat masyarakat menengah atas, karena berbagai sebab, di antaranya adalah kurangnya tenaga pengajar internasional, diragukannya pengakuan internasional, dan kurikulum yang masih mengacu pada aturan lama yang tidak seiring dengan permintaan internasional. Bagaimanapun sampai saat ini lembaga pendidikan Indonesia, masih belum mampu bersaing dalam kompetisi internasional yang amat ketat di era globalisasi ini.
Kebijakan pemerintah tentang pendidikan yang bukan menjadi prioritas utama dalam pembangunan menyebabkan dunia pendidikan Indonesia tertinggal jauh secara kualitas. Anggaran pendidikan yang minim, profesionalitas tenaga pengajar yang rendah, sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat Indonesia semakin tertinggal jauh.
Secara ekstern, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dengan dunia industri terutama yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi belum mampu diikuti dengan cermat oleh bangsa Indonesia. Persaingan kualitas output pendidikan merupakan indikator yang jelas akan lemahnya output yang dihasilkan oleh Indonesia. Untuk itu kehandalan sense of entrepreneurship para pimpinan dan tenaga-tenaga manajemen pendidikan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, sehingga mampu membawa lembaga pendidikan Indonesia ke arah global oriented dalam arti sepenuhnya.
Dengan tradisi belajar dan mengajar yang sudah cukup tua, sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi untuk memanfaatkan globalisasi ini, jauh dari apa yang saat ini diperoleh oleh negara tetangga kita Malaysia, yang tak seberapa tahun yang lalu masih mendatangkan guru-guru dari Indonesia. Kini dengan upaya intensif, Malaysia sudah dikenal sebagai Center of Excellent, dan telah terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa/pelajar yang dikirim oleh Indonesia, dengan pelajar/mahasiswa yang dikirim oleh Malaysia ke Indonesia.
Saat ini hanya kurang lebih 8.000 orang pelajar dan mahasiswa Malaysia di seluruh Indonesia, dan institusi pendidikan internasional yang terbanyak mendapatkan kepercayaan dari Malaysia adalah Al-Zaytun. Sementara jumlah pelajar Indonesia di negeri jiran ini lebih dari 28.000 orang.
Kemudian dalam kondisi ini bagaimanakah Indonesia mengambil peran? Inilah pertanyaan yang sering didiskusikan tentang upaya-upaya praktis oleh para pelaku didik di Al-Zaytun. Bagi pelaku didik Al-Zaytun, globalisasi disadari sepenuhnya sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, namun juga menjadi tantangan dan harapan untuk berkiprah di jagat raya, mengukir kebesaran potensi yang dimiliki bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Beruntunglah bahwa untuk itu semua, Indonesia telah memiliki Undang Undang Pendidikan baru, yang tentu saja lebih terbuka dan lebih akomodatif untuk segala bentuk inovasi dan reformasi pendidikan, sehingga memudahkan pendidik, dan peserta didik memperoleh kesempatan di era globalisasi ini.
Fenomena globalisasi, yang telah mengubah sedemikian rupa pola perdagangan dunia, informasi dan komunikasi, serta hubungan perekonomian di akhir abad kedua puluh, membawa pengaruh perubahan yang sama di bidang pendidikan di awal abad kedua puluh satu.
Pilihan pendidikan saat ini, sudah tidak lagi tersekat pada batasan-batasan teritorial sebuah negara. Perubahan-perubahan sistem pembelajaran seperti transnational education, internet based learning, distance learning, kampus-kampus jarak jauh (offshore campus), franchise institution, telah berkembang sedemikian rupa pesatnya di berbagai negara. Hal ini memberi kesempatan kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk memilih lembaga pendidikan dan atau sistem pembelajaran yang diinginkannya, baik di negara asal maupun di luar negeri.
Persaingan global pun sangat terbuka bagi pelajar mahasiswa yang “berprestasi dan cemerlang”, karena di era global ini banyak negara yang menjadikan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditi ekspor. Sepanjang sejarah kemanusiaan baru di era inilah masyarakat pendidikan, pelajar, mahasiwa, pengajar, dan civitas akademika lainnya mempunyai kesempatan untuk masuk dalam apa yang disebut sebagai “pasar dunia” atau global market.
Bagi para pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan di Indonesia, era ini tentu saja memberikan banyak kesempatan sekaligus sebagai sebuah ancaman, atau setidaknya tantangan atau bahkan era ini merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bangkit menyejajarkan dirinya dengan negara-negara lain di dunia.
Ancaman yang sangat mengerikan bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi faktor pendidikan di era globalisasi ini adalah runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas. Sumber daya manusia yang dimiliki tidak mampu bersaing dalam berbagai sektor kehidupan membuat Indonesia semakin terdesak mundur dan kalah dalam persaingan menata kehidupan sosial, ekonomi, politik, pertahanan, dan lainnya.
Ketergantungan yang terus-menerus terhadap orang, institusi dan negara lain membuat ketidakpercayaan terhadap diri sendiri yang semakin dalam sehingga banyak hal harus ditentukan oleh orang, institusi dan negara lain. Sementara pada era globalisasi kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara.
Indonesia harus mereformasi kembali pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain.
Ancaman yang disebutkan di atas adalah tantangan yang harus dihadapi dengan keseriusan dan penuh keyakinan, karena untuk kembali menata pendidikan sebagai kunci keberhasilan sebuah negara kita menghadapi berbagai tantangan yang sifatnya intern maupun ekstern.
Tantangan secara intern yang jelas adalah, bahwa banyak di antara pelajar, mahasiswa bahkan orang tua palajar Indonesia, masih melihat Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat untuk tujuan belajar, baik itu untuk tingkat sarjana ataupun pascasarjana. Hal ini disebabkan mutu pendidikan di negeri ini terus dan terus menurun, juga masih saja kekurangan fasilitas, termasuk di dalamnya kurangnya fasilitas komputer dan akses internet, dan alat bantu modern lain yang dibutuhkan.
Kekurangan tersebut tidak saja monopoli lembaga-lembaga pendidikan tinggi daerah, baik milik pemerintah maupun swasta, tetapi juga berlaku pada lembaga pendidikan di kota-kota besar. Hanya sedikit saja di antaranya yang memiliki kemapanan berupa kecukupan alat bantu modern. Mereka masih belum mampu menarik minat masyarakat menengah atas, karena berbagai sebab, di antaranya adalah kurangnya tenaga pengajar internasional, diragukannya pengakuan internasional, dan kurikulum yang masih mengacu pada aturan lama yang tidak seiring dengan permintaan internasional. Bagaimanapun sampai saat ini lembaga pendidikan Indonesia, masih belum mampu bersaing dalam kompetisi internasional yang amat ketat di era globalisasi ini.
Kebijakan pemerintah tentang pendidikan yang bukan menjadi prioritas utama dalam pembangunan menyebabkan dunia pendidikan Indonesia tertinggal jauh secara kualitas. Anggaran pendidikan yang minim, profesionalitas tenaga pengajar yang rendah, sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat Indonesia semakin tertinggal jauh.
Secara ekstern, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dengan dunia industri terutama yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi belum mampu diikuti dengan cermat oleh bangsa Indonesia. Persaingan kualitas output pendidikan merupakan indikator yang jelas akan lemahnya output yang dihasilkan oleh Indonesia. Untuk itu kehandalan sense of entrepreneurship para pimpinan dan tenaga-tenaga manajemen pendidikan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, sehingga mampu membawa lembaga pendidikan Indonesia ke arah global oriented dalam arti sepenuhnya.
Dengan tradisi belajar dan mengajar yang sudah cukup tua, sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi untuk memanfaatkan globalisasi ini, jauh dari apa yang saat ini diperoleh oleh negara tetangga kita Malaysia, yang tak seberapa tahun yang lalu masih mendatangkan guru-guru dari Indonesia. Kini dengan upaya intensif, Malaysia sudah dikenal sebagai Center of Excellent, dan telah terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa/pelajar yang dikirim oleh Indonesia, dengan pelajar/mahasiswa yang dikirim oleh Malaysia ke Indonesia.
Saat ini hanya kurang lebih 8.000 orang pelajar dan mahasiswa Malaysia di seluruh Indonesia, dan institusi pendidikan internasional yang terbanyak mendapatkan kepercayaan dari Malaysia adalah Al-Zaytun. Sementara jumlah pelajar Indonesia di negeri jiran ini lebih dari 28.000 orang.
Kemudian dalam kondisi ini bagaimanakah Indonesia mengambil peran? Inilah pertanyaan yang sering didiskusikan tentang upaya-upaya praktis oleh para pelaku didik di Al-Zaytun. Bagi pelaku didik Al-Zaytun, globalisasi disadari sepenuhnya sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, namun juga menjadi tantangan dan harapan untuk berkiprah di jagat raya, mengukir kebesaran potensi yang dimiliki bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Beruntunglah bahwa untuk itu semua, Indonesia telah memiliki Undang Undang Pendidikan baru, yang tentu saja lebih terbuka dan lebih akomodatif untuk segala bentuk inovasi dan reformasi pendidikan, sehingga memudahkan pendidik, dan peserta didik memperoleh kesempatan di era globalisasi ini.
Pendidikan dan Tantangan Globalisasi
Jika kita setuju dengan tesis dari Samuel P.Huntington tentang Clash of Civilization, maka yang akan kita hadapi dengan istilah globalisasi adalah interaksi budaya global dengan sekat-sekat yang hampir tidak dapat membendungnya. Huntington menjadikan indentitas budaya dan peradaban sebagai persoalan penting dalam kehidupan manusia yang kini telah mengalami globalisasi. (Samuel P.Huntington dalam H.A.Malik Fajar, 2005: 170). Dalam wacana keindonesian, tesis Huntington ini perlu dicermati mengingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan keragaman budaya dan masyarakat yang sangat kaya. Huntington menegaskan bahwa persoalan yang dihadapi adalah terjadinya konflik di sepanjang garis pemisah budaya (culture fault lines) . Dalam kasus Indonesia sering muncul dalam istilah “konflik berbau SARA”.
Setuju atau tidak setuju dengan tesis Huntington, kenyataan menunjukkan bahwa sebahagian tesis tesebut terbukti, dimana konflik-konflik horisontal sering muncul karena adanya diferensiasi budaya, sejarah dan bahkan agama. Khusus yang terakhir, Huntington, menurut Malik Fajar, percaya bahwa agama telah menimbulkan konflik selama berabad-abad . Masalahnya kemudian adalah bahwa arus utama globalisasi terkait sangat erat dengan budaya dan masyarakat. Lalu Apa yang harus dilakukan?
Persoalan real yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana membentuk karakter bangsa (Nation Character Building) yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal dan tradisional berhadapan dengan pusaran arus globalisasi yang demikian mengancam. Bagaimanapun juga khazanah keragaman budaya dan heterogenitas masyarakat Indonesia, di satu sisi merupakan keistimewaan namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Dalam diskursus pendidikan, hal tersebut harus dibahas, dan tidak dapat diabaikan begitu saja
Setuju atau tidak setuju dengan tesis Huntington, kenyataan menunjukkan bahwa sebahagian tesis tesebut terbukti, dimana konflik-konflik horisontal sering muncul karena adanya diferensiasi budaya, sejarah dan bahkan agama. Khusus yang terakhir, Huntington, menurut Malik Fajar, percaya bahwa agama telah menimbulkan konflik selama berabad-abad . Masalahnya kemudian adalah bahwa arus utama globalisasi terkait sangat erat dengan budaya dan masyarakat. Lalu Apa yang harus dilakukan?
Persoalan real yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana membentuk karakter bangsa (Nation Character Building) yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal dan tradisional berhadapan dengan pusaran arus globalisasi yang demikian mengancam. Bagaimanapun juga khazanah keragaman budaya dan heterogenitas masyarakat Indonesia, di satu sisi merupakan keistimewaan namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Dalam diskursus pendidikan, hal tersebut harus dibahas, dan tidak dapat diabaikan begitu saja
GLOBALISASI TAK LUNTURKAN ISTIADAT SASAK SADE
Globalisasi memang tidak bisa dihindari. Globalisasi, tak hanya menyentuh warga kota semata, tapi masyarakat yang tinggal nun jauh di pelosok-pelosok sana.
Suku Sasak Sade, yang mendiami Desa Rembitan, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, sekitar 30 kilometer dari Mataram, pun
tersentuh "globalisasi".
Suku Sasak Sade adalah penghuni kampung adat, namun bukan berarti
mereka tak mengenal modernitas, buktinya gadis-gadis suku itu mengenal dengan baik "boy band" Sm*sh, grup penyanyi yang menjadi ikon remaja gaul masa kini.
Pada suatu siang yang terik, tiga orang gadis suku Sasak Sade, Impu Naywati (16), Impul Susanti (12) dan Yuli Sartika (14), terlihat bercengkrama satu sama lain, sambil menyanyikan lagu "Cenat-cenut" milik "boy band" asal Kota Kembang Bandung itu.
"Suka banget sama Sma*sh, apalagi Morgan (salah seorang personil Sma*sh). Dia ganteng dan suara bagus sekali," kata Impu Naywati sambil menunjuk poster Sma*sh yang ditempel di salah satu bilik luar Bale Bontar. Bale Bontar adalah rumah adat Suku Sasak Sade untuk keluarga yang sudah mempunyai anak.
Tak hanya satu poster, tiga gadis jelita dari Suku Sadak Sade itu menempel tiga poster Sma*sh sekaligus di Bale Bontar milik salah seorang warga.
Impu, Impung dan Yuni ialah generasi penerus Suku Sasak Sade yang lahir di era globalisasi.
Saat ini, jumlah Suku Sasak Sade mencapai kurang lebih 700 orang. Mereka mendiami sekitar 150 rumah di desa Rembitan.
Patuh
Meskipun globalisasi telah menyentuh masyarakat Suku Sasak Sade, namun nilai-nilai leluhur mereka tetap dipertahankan oleh generasi penerusnya termasuk Impung Yuni, dan Impu.
Kepatuhan tiga gadis itu terhadap nilai leluhur mereka ialah dengan cara berpakaian mereka yang tetap mengenakan bendang (kain sarung khas untuk dipakai perempuan Suku Sasak Sade).
"Iya, kalau anak perempuan di sini harus pakai bendang," ujar Impu dengan logat khasnya.
Impu mengatakan, kedua orang tuanya tak melarang dirinya untuk mengidolakan enam personil Sma*sh yakni Morgan Oey, Bisma Kharisma, Muhammad Ilham Pratama, Reza Anugerah, Dicky M Prasetya, Rafae dan Rangga Dewamoela S.
"Orang tua ngak marak kok, saya suka sama Sma*sh," kata Impu yang tercatat sebagai siswi kelas 1 SMAN 1 Pujut.
Menculik Pengantin
Sementara itu, salah seorang warga kampung adat Suku Sasak Sade Menaf (31), menuturkan bahwa kebiasaan atau adat istiadat leluhurnya tersebut sampai sekarang masih dipertahankan.
"Salah satunya ialah mencari pasangan hidup masih secara intern yakni untuk mempertahankan kerabat, nikah bisa mencari dari keponakan," ujar Menaf.
Ia menuturkan, ada beberapa tahapan sebelum pernikahan yang menjadi adat istiadat warga yakni "menculik" si calon istri.
"Yang pertama yang dilakukan calon suami adalah menculik calon isteri keluar dari Kampung Sasak," katanya.
Sepintas memang agak aneh. Namun kebiasaan menculik ini ialah untuk menghormati orangtua perempuan yang akan dinikahi.
Tradisi menculik calon pengantin di Suku Sasak Sade ini bisa dikatakanya proses negosiasi antara pria dan calon orang tua mempelai.
"Jadi biasanya setelah menculik baru ada percakapan antara orang tua perempuan dan orang tua laki-laki. Jika telah mendapatkan calon istri, pihak orangtua suami akan bertandang ke rumah calon istri untuk bertanya tentang mas kawin dan biaya pernikahan," katanya. Setelah sepakat, maka pernikahan bisa dilangsungkan.
Keunikan budaya Suku Sasak Sade dalam ritual perkawinan tak berhenti usai "menculik" yakni prosesi pernikahannya.
Biasanya pengantin diwajibkan untuk berjalan sejauh dua kilometer menuju rumah dengan diiringi oleh tarian dan musik tradisional.
"Usai menikah, pengantin baru akan menempati Bale Kodong, sebuah rumah adaat berukuran sekitar dua kali dua meter," katanya.
Rumah adat Suku Sasak Sade sangat unik. Sebuah rumah adat Suku Sasak Sade bagian atap terbuat dari alang-alang yang tidak tembus air dan bisa bertahan sampai dengan sembilan tahun.
Sedangkan bagian dindingnya menggunakan bilik dari bambu. Tiang-tiang penyangganya juga kebanyakan terbuat dari bambu.
Cara mengepel masyarakat Suku Sasak Sade tidak biasa. Rumah adat Suku Sasak Sade yang terbuat dari tanah liat dicampur sekam dan kotoran sapi.
"Untuk membersihkan lantainya pun menggunakan kotoran sapi yang belum lama keluar dari sapi," katanya
Suku Sasak Sade, yang mendiami Desa Rembitan, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, sekitar 30 kilometer dari Mataram, pun
tersentuh "globalisasi".
Suku Sasak Sade adalah penghuni kampung adat, namun bukan berarti
mereka tak mengenal modernitas, buktinya gadis-gadis suku itu mengenal dengan baik "boy band" Sm*sh, grup penyanyi yang menjadi ikon remaja gaul masa kini.
Pada suatu siang yang terik, tiga orang gadis suku Sasak Sade, Impu Naywati (16), Impul Susanti (12) dan Yuli Sartika (14), terlihat bercengkrama satu sama lain, sambil menyanyikan lagu "Cenat-cenut" milik "boy band" asal Kota Kembang Bandung itu.
"Suka banget sama Sma*sh, apalagi Morgan (salah seorang personil Sma*sh). Dia ganteng dan suara bagus sekali," kata Impu Naywati sambil menunjuk poster Sma*sh yang ditempel di salah satu bilik luar Bale Bontar. Bale Bontar adalah rumah adat Suku Sasak Sade untuk keluarga yang sudah mempunyai anak.
Tak hanya satu poster, tiga gadis jelita dari Suku Sadak Sade itu menempel tiga poster Sma*sh sekaligus di Bale Bontar milik salah seorang warga.
Impu, Impung dan Yuni ialah generasi penerus Suku Sasak Sade yang lahir di era globalisasi.
Saat ini, jumlah Suku Sasak Sade mencapai kurang lebih 700 orang. Mereka mendiami sekitar 150 rumah di desa Rembitan.
Patuh
Meskipun globalisasi telah menyentuh masyarakat Suku Sasak Sade, namun nilai-nilai leluhur mereka tetap dipertahankan oleh generasi penerusnya termasuk Impung Yuni, dan Impu.
Kepatuhan tiga gadis itu terhadap nilai leluhur mereka ialah dengan cara berpakaian mereka yang tetap mengenakan bendang (kain sarung khas untuk dipakai perempuan Suku Sasak Sade).
"Iya, kalau anak perempuan di sini harus pakai bendang," ujar Impu dengan logat khasnya.
Impu mengatakan, kedua orang tuanya tak melarang dirinya untuk mengidolakan enam personil Sma*sh yakni Morgan Oey, Bisma Kharisma, Muhammad Ilham Pratama, Reza Anugerah, Dicky M Prasetya, Rafae dan Rangga Dewamoela S.
"Orang tua ngak marak kok, saya suka sama Sma*sh," kata Impu yang tercatat sebagai siswi kelas 1 SMAN 1 Pujut.
Menculik Pengantin
Sementara itu, salah seorang warga kampung adat Suku Sasak Sade Menaf (31), menuturkan bahwa kebiasaan atau adat istiadat leluhurnya tersebut sampai sekarang masih dipertahankan.
"Salah satunya ialah mencari pasangan hidup masih secara intern yakni untuk mempertahankan kerabat, nikah bisa mencari dari keponakan," ujar Menaf.
Ia menuturkan, ada beberapa tahapan sebelum pernikahan yang menjadi adat istiadat warga yakni "menculik" si calon istri.
"Yang pertama yang dilakukan calon suami adalah menculik calon isteri keluar dari Kampung Sasak," katanya.
Sepintas memang agak aneh. Namun kebiasaan menculik ini ialah untuk menghormati orangtua perempuan yang akan dinikahi.
Tradisi menculik calon pengantin di Suku Sasak Sade ini bisa dikatakanya proses negosiasi antara pria dan calon orang tua mempelai.
"Jadi biasanya setelah menculik baru ada percakapan antara orang tua perempuan dan orang tua laki-laki. Jika telah mendapatkan calon istri, pihak orangtua suami akan bertandang ke rumah calon istri untuk bertanya tentang mas kawin dan biaya pernikahan," katanya. Setelah sepakat, maka pernikahan bisa dilangsungkan.
Keunikan budaya Suku Sasak Sade dalam ritual perkawinan tak berhenti usai "menculik" yakni prosesi pernikahannya.
Biasanya pengantin diwajibkan untuk berjalan sejauh dua kilometer menuju rumah dengan diiringi oleh tarian dan musik tradisional.
"Usai menikah, pengantin baru akan menempati Bale Kodong, sebuah rumah adaat berukuran sekitar dua kali dua meter," katanya.
Rumah adat Suku Sasak Sade sangat unik. Sebuah rumah adat Suku Sasak Sade bagian atap terbuat dari alang-alang yang tidak tembus air dan bisa bertahan sampai dengan sembilan tahun.
Sedangkan bagian dindingnya menggunakan bilik dari bambu. Tiang-tiang penyangganya juga kebanyakan terbuat dari bambu.
Cara mengepel masyarakat Suku Sasak Sade tidak biasa. Rumah adat Suku Sasak Sade yang terbuat dari tanah liat dicampur sekam dan kotoran sapi.
"Untuk membersihkan lantainya pun menggunakan kotoran sapi yang belum lama keluar dari sapi," katanya
globalisasi dan solusinya
mengenal tentang globalisasi : Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi ekonomi membawa dampak positif maupun negatif.
adapun dampak positif dari globalisasi adalah :
1. Semakin terbukanya pasar untuk produk-produk ekspor, dengan catatan produk ekspor Indonesia mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini membuka kesempatan bagi pengusaha di Indonesia untuk melahirkan produk-produk berkualitas, kreatif, dan dibutuhkan oleh pasar dunia.
2. Semakin mudah mengakses modal investasi dari luar negeri. Apabila investasinya bersifat langsung, misalnya dengan pendirian pabrik di Indonesia maka akan membuka lapangan kerja. Hal ini bisa mengatasi kelangkaan modal di Indonesia.
3. Semakin mudah memperoleh barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dan belum bisa diproduksi di Indonesia.
4. Semakin meningkatnya kegiatan pariwisata, sehingga membuka lapangan kerja di bidang pariwisata sekaligus menjadi ajang promosi produk Indonesia.
sebagaimana adanya dampak positif tapi cenderung Dampak negatif globalisasi malah memperburuk keadaan ekonomi indonesia:
1. Kemungkinan hilangnya pasar produk ekspor Indonesia karena kalah bersaing dengan produksi negara lain yang lebih murah dan berkualitas. Misalnya produk pertanian kita kalah jauh dari Thailand.
2. Membanjirnya produk impor di pasaran Indonesia sehingga mematikan usaha-usaha di Indonesia. Misalnya, ancaman produk batik Cina yang lebih murah bagi industri batik di tanah air.
3. Ancaman dari sektor keuangan dunia yang semakin bebas dan menjadi ajang spekulasi. Investasi yang sudah ditanam di Indonesia bisa dengan mudah ditarik atau dicabut jika dirasa tidak lagi menguntungkan. Hal ini bisa memengaruhi kestabilan ekonomi.
4. Ancaman masuknya tenaga kerja asing (ekspatriat) di Indonesia yang lebih profesional SDMnya. Lapangan kerja di Indonesia yang sudah sempit jadi semakin sempit.
Kesimpulannya, globalisasi bisa berdampak positif atau negatif tergantung kesiapan kita mengadapinya.
Dampak Globalisasi dalam bidang Ekonomi :
1. Dampak globalisasi dalam bidang ekonomi, antara lain :
Globalisasi dan liberalisme pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi. Semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antar negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Munculnya perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan politik pada segelintir orang. Munculnya lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, WTO.
2. Dampak Globalisasi dalam bidang Sosial Budaya :
Semakin bertambah globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Merebaknya gaya berpakaian barat di negara-negara berkembang. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/ VCD atau DVD.
3. Dampak Globalisasi dalam bidang Politik
Negara tidak lagi dianggap sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Para pengambil kebijakan publik di negara sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi. Timbulnya gelombang demokratisasi ( dambaan akan kebebasan )
adapun dampak positif dari globalisasi adalah :
1. Semakin terbukanya pasar untuk produk-produk ekspor, dengan catatan produk ekspor Indonesia mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini membuka kesempatan bagi pengusaha di Indonesia untuk melahirkan produk-produk berkualitas, kreatif, dan dibutuhkan oleh pasar dunia.
2. Semakin mudah mengakses modal investasi dari luar negeri. Apabila investasinya bersifat langsung, misalnya dengan pendirian pabrik di Indonesia maka akan membuka lapangan kerja. Hal ini bisa mengatasi kelangkaan modal di Indonesia.
3. Semakin mudah memperoleh barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dan belum bisa diproduksi di Indonesia.
4. Semakin meningkatnya kegiatan pariwisata, sehingga membuka lapangan kerja di bidang pariwisata sekaligus menjadi ajang promosi produk Indonesia.
sebagaimana adanya dampak positif tapi cenderung Dampak negatif globalisasi malah memperburuk keadaan ekonomi indonesia:
1. Kemungkinan hilangnya pasar produk ekspor Indonesia karena kalah bersaing dengan produksi negara lain yang lebih murah dan berkualitas. Misalnya produk pertanian kita kalah jauh dari Thailand.
2. Membanjirnya produk impor di pasaran Indonesia sehingga mematikan usaha-usaha di Indonesia. Misalnya, ancaman produk batik Cina yang lebih murah bagi industri batik di tanah air.
3. Ancaman dari sektor keuangan dunia yang semakin bebas dan menjadi ajang spekulasi. Investasi yang sudah ditanam di Indonesia bisa dengan mudah ditarik atau dicabut jika dirasa tidak lagi menguntungkan. Hal ini bisa memengaruhi kestabilan ekonomi.
4. Ancaman masuknya tenaga kerja asing (ekspatriat) di Indonesia yang lebih profesional SDMnya. Lapangan kerja di Indonesia yang sudah sempit jadi semakin sempit.
Kesimpulannya, globalisasi bisa berdampak positif atau negatif tergantung kesiapan kita mengadapinya.
Dampak Globalisasi dalam bidang Ekonomi :
1. Dampak globalisasi dalam bidang ekonomi, antara lain :
Globalisasi dan liberalisme pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi. Semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antar negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Munculnya perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan politik pada segelintir orang. Munculnya lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, WTO.
2. Dampak Globalisasi dalam bidang Sosial Budaya :
Semakin bertambah globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Merebaknya gaya berpakaian barat di negara-negara berkembang. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/ VCD atau DVD.
3. Dampak Globalisasi dalam bidang Politik
Negara tidak lagi dianggap sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Para pengambil kebijakan publik di negara sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi. Timbulnya gelombang demokratisasi ( dambaan akan kebebasan )
Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
• Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
• Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
• Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
• Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
• Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
• Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
• Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
• Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
Globalisasi Ru'yah Tak Sederhana
Bisakah ru'yatul hilal diglobalisasikan? Banyak orang yang mendambakannya. Sekian lama kita merasakan ketidakpastian atau perbedaan di sana-sini dalam penentuan awal Ramadan dan hari raya.
Tetapi, apa makna globalisasi ru'yah itu? Tidak ada makna baku untuk istilah "globalisasi" dalam masalah ru'yatul hilal. H. Chumaidi Muslih (PR, 19 Juli 1994) menawarkan ide menarik namun belum tentu bisa diterapkan, karena globalisasi ru'yah tidak sesederhana yang diuraikannya. Apalagi dengan menyempitkan makna globalisasi sebagai "menyepakati Arab Saudi sebagai tempat pelaksanaan pemantauan bulan (ru'yatul hilal), kemudian negara-negara lain mengikuti dengan memperhitungkan perbedaan waktu/letaknya pada garis bujur (meridian), serta perbedaan posisi bulan/ketinggiannya terhadap garis horison barat pada saat tenggelamnya matahari di masing-masing tempat." Menyepakati Arab Saudi sebagai satu-satunya tempat pengamatan menimbulkan masalah tersendiri.
Tulisan ini mencoba menganalisisnya secara umum -- tidak menyoroti secara khusus pandangan di atas-- dengan mengkaji masalah sesungguhnya yang kita hadapi.
Salah anggapan
Ada beberapa anggapan sederhana di masyarakat kita yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya kesimpulan yang keliru.
Pertama, anggapan "Kita ummat yang satu, yang tinggal di bumi yang satu, bulan dan matahari juga sama, jadi mestinya waktu ibadah Puasa dan 'Id-nya juga harus kompak". Anggapan yang hampir sama juga muncul di PR beberapa bulan sebelumnya ketika mengulas penyeragaman idul adha. Nah, pengertian kompak atau seragam kadang-kadang rancu.
Masyarakat awam sadar atau tak sadar akan terbawa pada anggapan seolah-olah bumi kita seperti selembar kertas yang mengamati bulan yang satu. Mestinya --dengan anggapan salah itu-- bulan yang satu itu dapat diamati di semua tempat di bumi. Anggapan yang lebih "canggih" menambahkan koreksi perbedaan waktu karena bumi bulat, tetapi tetap dengan anggapan mestinya semua tempat bisa mengamati bulan yang satu itu dengan mempertimbangkan koreksi waktu itu atau beda bujurnya.
Anggapan itu memberikan kesimpulan yang keliru karena penampakan bulan dipengaruhi banyak faktor. Dua faktor dominan adalah keadaan atmosfer tempat pengamatan dan lintang tempat pengamatan. Pengaruh atmosfer amat jelas diketahui oleh semua orang, di satu tempat teramati mungkin di tempat lain belum. Pengaruh lintang tempat pengamatan jarang disadari orang. Seolah-olah tempat yang sebujur bisa mengamati bulan pada saat yang bersamaan. Karenanya, dengan anggapan itu, timbul ide sederhana cukup dengan koreksi waktu akibat perbedaan bujur dua tempat. Dengan koreksi waktu itu dihitung ketinggian hilal di tempat lain, bila ketinggian hilal di tempat acuan diketahui.
Koreksi itu terlalu sederhana dan kurang tepat. Untuk kasus matahari dan bulan berada di sekitar katulistiwa langit (sekitar 20 Maret dan 23 September) koreksi sederhana itu bisa dilakukan. Tetapi hal itu tidak bisa diterapkan pada kasus-kasus lain. Pada musim panas atau dingin, di belahan bumi utara atau selatan matahari bisa terbenam lebih lambat atau lebih cepat dari jam 6 sore. Karenanya saat pengamatan hilal pun tidak hanya bergantung pada bujur tempat itu. Sebagai contoh, untuk bulan Juli/Agustus matahari terbenam di daerah sekitar katulistiwa sekitar jam 6 waktu setempat, tetapi di belahan utara bisa jam 7 dan dibelahan selatan jam 5. Karena pada bulan Juli/Agustus matahari berada di langit belahan utara.
Selain itu, posisi bulan pun berpengaruh pada penentuan saat terbenamnya. Kita ketahui, orbit bulan tidak berimpit dengan katulistiwa langit, karenanya bulan bisa terbenam lebih ke utara atau lebih ke selatan dari titik barat. Posisi bulan ini berpengarauh pada penentuan saat terbenamnya, seperti halnya pengaruh posisi matahari dalam contoh tersebut di atas.
Kesalahan anggapan ke dua, terlalu berlebihan mengandalkan jaringan komunikasi untuk pengambilan keputusan ru'yatul hilal secara cepat dan tepat untuk skala mendunia. Keputusan ru'yatul hilal tidak mungkin diserahkan kepada mesin yang terprogram yang bisa dengan cepat memberikan keluaran yang bisa segera terdistribusi ke seluruh dunia. Peranan fuqaha tak bisa diabaikan. Musyawarah para fuqaha dalam menilai kesahihan ru'yatul hilal perlu waktu. Sementara itu mereka pun perlu waktu menantikan berbagai laporan ru'yatul hilal.
Kalau ingin lebih lengkap sampai info ketinggian hilal, tidak sebarang saksi bisa diterima kesaksiannya. Hanya orang yang bisa menghitung ketinggian hilal yang bisa diterima. Kalau itu yang terjadi, jelas tak ada dalilnya. Syarat saksi ru'yatul hilal hanya orang yang bisa dipercaya kesaksiannya, karena keimanannya dan kemampuan matanya membedakan hilal atau bukan, tidak perlu bisa menghitung ketinggiannya.
Sekarang, andaikan diambil kasus paling sederhana dan ideal. Andaikan disepakati hanya kesaksian di Mekkah yang dijadikan acuan dan para pengamatnya faham betul ketinggian hilalnya. Laporan kesaksian hilal sampai jam 18.30. Andaikan para fuqaha di Mekkah berhasil mengadakan musyawarah kilat dan jam 19.00 waktu setempat informasi itu bisa langsung disebarkan ke seluruh dunia. Di Indonesia Barat saat itu jam 23.00 dan di Indonesia Timur jam 1 dini hari. Kalau itu yang terjadi, kaum Muslimin di Indonesia harus siap menanti pengumuman pemerintah larut malam. Itu pun belum pasti ada pengumuman atau tidak, karena mempercayakan sepenuhnya pada ru'yatul hilal berarti harus bersabar menunggu dengan ketidakpastian. Ini malah memberatkan. Awalnya sederhana, tetapi konsekuensinya tidak sederhana.
Kesalahan anggapan ketiga: menjadikan Mekkah sebagai acuan ru'yatul hilal dianggap akan menyelesaikan masalah. Ada hal-hal penting yang terabaikan. Usulan itu bertentangan dengan hadits yang memerintahkan untuk berpuasa bila melihat hilal. Andaikan di tempat lain melihat hilal sedangkan di Mekkah tidak, sedangkan hanya kesaksian di Mekkah yang dianggap diterima, haruskan kesaksian di tempat lain itu ditolak? Padahal pesan Nabi itu tidak menyebut tempat khusus untuk ru'yatul hilal.
Di sisi lain, cara ini menimbulkan taqlid pada Mekkah, yang berarti pula mengubur gairah ummat di tempat lain untuk meru'yat hilal. Benar, Mekkah sebagai tempat Ka'bah, kiblatnya kaum Muslimin. Tetapi, bukan berarti masalah ru'yatul hilal dengan mudah mengiblat ke sana. Secara teknis, hal itu pun tidak sederhana dan malah menyulitkan seperti dicontohkan di atas.
Masalah Sebenarnya
Keinginan ummat untuk mencari rumusan yang tepat bagi penyeragaman awal puasa dan hari raya yang berlaku secara global sungguh beralasan. Tetapi, kadang-kadang makna penyeragamannya pun belum difahami. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa penyeragaman berarti bila di Mekkah awal Ramadan tanggal 1 Februari 1995 semestinya di seluruh pelosok dunia pun tanggal 1 Februari 1995. Anggapan seperti itu sebenarnya keliru, karena tanggal 1 Februari lebih didasarkan konvensi penentuan garis tanggal internasional yang melintas di lautan Pasifik. Akibat adanya garis tanggal itu 1 Ramadan di Indonesia bisa terjadi pada tanggal 2 Februari karena pada 31 Januari hilal sulit terlihat dari Indonesia tetapi mungkin mudah teramati di Mekkah. Dengan kata lain, penyeragaman dalam kalender syamsiah hanyalah mengacu pada hasil buatan manusia.
Gagasan menghitung ru'yatul hilal di berbagai tempat arahnya sudah tepat dalam membuat kalender Islam global. Tetapi hal-hal yang diulas di atas mempunyai kelemahan pada pendefinisian globalisasi yang mengacu pada satu tempat, yakni Mekkah. Globalisasi seperti itu menyempitkan arti kalender global yang mengacu pada ru'yatul hilal di berbagai tempat, yang belum tentu tergantung ru'yatul hilal di tempat lain.
Kalender global yang tidak mengacu ru'yatul hilal di satu tempat seperti itu yang kini sedang diusahakan oleh International Islamic Calendar Programme (IICP) yang berpusat di Malaysia. Globalisasi seperti itu, mau tak mau melibatkan hisab astronomi.
Kemuskilan perbedaan idul fitri yang sering timbul di Indonesia sebenarnya masalahnya bukan lagi perbedaan masalah hisab dan ru'yat. Juga bukan perbedaan ru'yat tradisional (tanpa teropong) dan ru'yat dengan teropong. Bila masalahnya hanya itu, sekian banyak seminar dan musyawarah yang dilakukan bisa menyelesaikan masalah. Barangkali pendapat Wahyu Widiana dari Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Dalam seminar di Planetarium Jakarta Januari 1994 lalu, ia berpendapat "kini persolannya bukan hanya masalah ilmu semata, namun sudah berubah menjadi keyakinan yang sulit diubah."
Jadi, globalisasi ru'yatul hilal atau kalender Islam tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Penyeragaman kalender Islam, khususnya awal Ramadan dan hari raya, sama sulitnya dengan penyatuan semua madzhab. Suatu madzhab diikuti oleh banyak didasarkan pada keyakinan. Kita semua, termasuk pemerintah, tidak mungkin memaksakan orang yang berbeda keyakinan untuk mengikuti apa yang kita yakini. Karenanya, hal penting yang perlu kita tanamkan adalah kesadaran bahwa perbedaan mungkin saja terjadi, baik antardaerah di Indonesia maupun antarnegara. Namun perbedaan itu janganlah dijadikan bahan perpecahan.
Tetapi, apa makna globalisasi ru'yah itu? Tidak ada makna baku untuk istilah "globalisasi" dalam masalah ru'yatul hilal. H. Chumaidi Muslih (PR, 19 Juli 1994) menawarkan ide menarik namun belum tentu bisa diterapkan, karena globalisasi ru'yah tidak sesederhana yang diuraikannya. Apalagi dengan menyempitkan makna globalisasi sebagai "menyepakati Arab Saudi sebagai tempat pelaksanaan pemantauan bulan (ru'yatul hilal), kemudian negara-negara lain mengikuti dengan memperhitungkan perbedaan waktu/letaknya pada garis bujur (meridian), serta perbedaan posisi bulan/ketinggiannya terhadap garis horison barat pada saat tenggelamnya matahari di masing-masing tempat." Menyepakati Arab Saudi sebagai satu-satunya tempat pengamatan menimbulkan masalah tersendiri.
Tulisan ini mencoba menganalisisnya secara umum -- tidak menyoroti secara khusus pandangan di atas-- dengan mengkaji masalah sesungguhnya yang kita hadapi.
Salah anggapan
Ada beberapa anggapan sederhana di masyarakat kita yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya kesimpulan yang keliru.
Pertama, anggapan "Kita ummat yang satu, yang tinggal di bumi yang satu, bulan dan matahari juga sama, jadi mestinya waktu ibadah Puasa dan 'Id-nya juga harus kompak". Anggapan yang hampir sama juga muncul di PR beberapa bulan sebelumnya ketika mengulas penyeragaman idul adha. Nah, pengertian kompak atau seragam kadang-kadang rancu.
Masyarakat awam sadar atau tak sadar akan terbawa pada anggapan seolah-olah bumi kita seperti selembar kertas yang mengamati bulan yang satu. Mestinya --dengan anggapan salah itu-- bulan yang satu itu dapat diamati di semua tempat di bumi. Anggapan yang lebih "canggih" menambahkan koreksi perbedaan waktu karena bumi bulat, tetapi tetap dengan anggapan mestinya semua tempat bisa mengamati bulan yang satu itu dengan mempertimbangkan koreksi waktu itu atau beda bujurnya.
Anggapan itu memberikan kesimpulan yang keliru karena penampakan bulan dipengaruhi banyak faktor. Dua faktor dominan adalah keadaan atmosfer tempat pengamatan dan lintang tempat pengamatan. Pengaruh atmosfer amat jelas diketahui oleh semua orang, di satu tempat teramati mungkin di tempat lain belum. Pengaruh lintang tempat pengamatan jarang disadari orang. Seolah-olah tempat yang sebujur bisa mengamati bulan pada saat yang bersamaan. Karenanya, dengan anggapan itu, timbul ide sederhana cukup dengan koreksi waktu akibat perbedaan bujur dua tempat. Dengan koreksi waktu itu dihitung ketinggian hilal di tempat lain, bila ketinggian hilal di tempat acuan diketahui.
Koreksi itu terlalu sederhana dan kurang tepat. Untuk kasus matahari dan bulan berada di sekitar katulistiwa langit (sekitar 20 Maret dan 23 September) koreksi sederhana itu bisa dilakukan. Tetapi hal itu tidak bisa diterapkan pada kasus-kasus lain. Pada musim panas atau dingin, di belahan bumi utara atau selatan matahari bisa terbenam lebih lambat atau lebih cepat dari jam 6 sore. Karenanya saat pengamatan hilal pun tidak hanya bergantung pada bujur tempat itu. Sebagai contoh, untuk bulan Juli/Agustus matahari terbenam di daerah sekitar katulistiwa sekitar jam 6 waktu setempat, tetapi di belahan utara bisa jam 7 dan dibelahan selatan jam 5. Karena pada bulan Juli/Agustus matahari berada di langit belahan utara.
Selain itu, posisi bulan pun berpengaruh pada penentuan saat terbenamnya. Kita ketahui, orbit bulan tidak berimpit dengan katulistiwa langit, karenanya bulan bisa terbenam lebih ke utara atau lebih ke selatan dari titik barat. Posisi bulan ini berpengarauh pada penentuan saat terbenamnya, seperti halnya pengaruh posisi matahari dalam contoh tersebut di atas.
Kesalahan anggapan ke dua, terlalu berlebihan mengandalkan jaringan komunikasi untuk pengambilan keputusan ru'yatul hilal secara cepat dan tepat untuk skala mendunia. Keputusan ru'yatul hilal tidak mungkin diserahkan kepada mesin yang terprogram yang bisa dengan cepat memberikan keluaran yang bisa segera terdistribusi ke seluruh dunia. Peranan fuqaha tak bisa diabaikan. Musyawarah para fuqaha dalam menilai kesahihan ru'yatul hilal perlu waktu. Sementara itu mereka pun perlu waktu menantikan berbagai laporan ru'yatul hilal.
Kalau ingin lebih lengkap sampai info ketinggian hilal, tidak sebarang saksi bisa diterima kesaksiannya. Hanya orang yang bisa menghitung ketinggian hilal yang bisa diterima. Kalau itu yang terjadi, jelas tak ada dalilnya. Syarat saksi ru'yatul hilal hanya orang yang bisa dipercaya kesaksiannya, karena keimanannya dan kemampuan matanya membedakan hilal atau bukan, tidak perlu bisa menghitung ketinggiannya.
Sekarang, andaikan diambil kasus paling sederhana dan ideal. Andaikan disepakati hanya kesaksian di Mekkah yang dijadikan acuan dan para pengamatnya faham betul ketinggian hilalnya. Laporan kesaksian hilal sampai jam 18.30. Andaikan para fuqaha di Mekkah berhasil mengadakan musyawarah kilat dan jam 19.00 waktu setempat informasi itu bisa langsung disebarkan ke seluruh dunia. Di Indonesia Barat saat itu jam 23.00 dan di Indonesia Timur jam 1 dini hari. Kalau itu yang terjadi, kaum Muslimin di Indonesia harus siap menanti pengumuman pemerintah larut malam. Itu pun belum pasti ada pengumuman atau tidak, karena mempercayakan sepenuhnya pada ru'yatul hilal berarti harus bersabar menunggu dengan ketidakpastian. Ini malah memberatkan. Awalnya sederhana, tetapi konsekuensinya tidak sederhana.
Kesalahan anggapan ketiga: menjadikan Mekkah sebagai acuan ru'yatul hilal dianggap akan menyelesaikan masalah. Ada hal-hal penting yang terabaikan. Usulan itu bertentangan dengan hadits yang memerintahkan untuk berpuasa bila melihat hilal. Andaikan di tempat lain melihat hilal sedangkan di Mekkah tidak, sedangkan hanya kesaksian di Mekkah yang dianggap diterima, haruskan kesaksian di tempat lain itu ditolak? Padahal pesan Nabi itu tidak menyebut tempat khusus untuk ru'yatul hilal.
Di sisi lain, cara ini menimbulkan taqlid pada Mekkah, yang berarti pula mengubur gairah ummat di tempat lain untuk meru'yat hilal. Benar, Mekkah sebagai tempat Ka'bah, kiblatnya kaum Muslimin. Tetapi, bukan berarti masalah ru'yatul hilal dengan mudah mengiblat ke sana. Secara teknis, hal itu pun tidak sederhana dan malah menyulitkan seperti dicontohkan di atas.
Masalah Sebenarnya
Keinginan ummat untuk mencari rumusan yang tepat bagi penyeragaman awal puasa dan hari raya yang berlaku secara global sungguh beralasan. Tetapi, kadang-kadang makna penyeragamannya pun belum difahami. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa penyeragaman berarti bila di Mekkah awal Ramadan tanggal 1 Februari 1995 semestinya di seluruh pelosok dunia pun tanggal 1 Februari 1995. Anggapan seperti itu sebenarnya keliru, karena tanggal 1 Februari lebih didasarkan konvensi penentuan garis tanggal internasional yang melintas di lautan Pasifik. Akibat adanya garis tanggal itu 1 Ramadan di Indonesia bisa terjadi pada tanggal 2 Februari karena pada 31 Januari hilal sulit terlihat dari Indonesia tetapi mungkin mudah teramati di Mekkah. Dengan kata lain, penyeragaman dalam kalender syamsiah hanyalah mengacu pada hasil buatan manusia.
Gagasan menghitung ru'yatul hilal di berbagai tempat arahnya sudah tepat dalam membuat kalender Islam global. Tetapi hal-hal yang diulas di atas mempunyai kelemahan pada pendefinisian globalisasi yang mengacu pada satu tempat, yakni Mekkah. Globalisasi seperti itu menyempitkan arti kalender global yang mengacu pada ru'yatul hilal di berbagai tempat, yang belum tentu tergantung ru'yatul hilal di tempat lain.
Kalender global yang tidak mengacu ru'yatul hilal di satu tempat seperti itu yang kini sedang diusahakan oleh International Islamic Calendar Programme (IICP) yang berpusat di Malaysia. Globalisasi seperti itu, mau tak mau melibatkan hisab astronomi.
Kemuskilan perbedaan idul fitri yang sering timbul di Indonesia sebenarnya masalahnya bukan lagi perbedaan masalah hisab dan ru'yat. Juga bukan perbedaan ru'yat tradisional (tanpa teropong) dan ru'yat dengan teropong. Bila masalahnya hanya itu, sekian banyak seminar dan musyawarah yang dilakukan bisa menyelesaikan masalah. Barangkali pendapat Wahyu Widiana dari Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Dalam seminar di Planetarium Jakarta Januari 1994 lalu, ia berpendapat "kini persolannya bukan hanya masalah ilmu semata, namun sudah berubah menjadi keyakinan yang sulit diubah."
Jadi, globalisasi ru'yatul hilal atau kalender Islam tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Penyeragaman kalender Islam, khususnya awal Ramadan dan hari raya, sama sulitnya dengan penyatuan semua madzhab. Suatu madzhab diikuti oleh banyak didasarkan pada keyakinan. Kita semua, termasuk pemerintah, tidak mungkin memaksakan orang yang berbeda keyakinan untuk mengikuti apa yang kita yakini. Karenanya, hal penting yang perlu kita tanamkan adalah kesadaran bahwa perbedaan mungkin saja terjadi, baik antardaerah di Indonesia maupun antarnegara. Namun perbedaan itu janganlah dijadikan bahan perpecahan.
Globalisasi Vs Jatidiri Bangsa
Untuk mengantisipasi era globalisasi di segala bidang selayaknya dimulai melalui upaya pengokohan jatidiri bangsa. Sebenarnya proses pengokohan itu sudah berlangsung puluhan tahun, terutama sejak diproklamasikannya kedaulatan bangsa dan negara tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat, bangsa Indonesia sebenarnya telah memasuki usia yang cukup matang, 66 tahun. Namun jika dibandingkan dengan bangsa lainnya yang sudah berdiri kokoh selama ratusan tahun, bangsa Indonesia memang termasuk relatif muda.
Karena ditempa oleh beragam pengalaman, maka jatidiri bangsa Indonesia menjadi kokoh, hingga diakui dalam kancah pergaulan antar bangsa. Bangsa Indonesia memang telah “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan bangsa lain yang lebih senior.
Proses pembentukan jatidiri bangsa sebenarnya telah berlangsung ratusan tahun, namun pernyataan kemerdekaan sebagai bangsa yang memiliki jatidiri, memang baru dikumandangkan 66 tahun yang lalu.
Sejak 66 tahun yang lalu itulah bangsa Indonesia berupaya mengokohkan jatidirinya, hingga dalam era globalisasi bisa aktif di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Kontribusi bangsa Indonesia terhadap perdamaian dunia memang bisa dibanggakan
Bagaimanapun yang menjadi penentu utama masa depan suatu bangsa, bukanlah terletak pada pendapatan per kapita, jumlah ekspor, total devisa, atau cadangan sumberdaya alam yang dimiliki, namun ditentukan oleh jatidirinya.
Sejarah dunia membuktikan, banyak bangsa yang besar mengalami disintegrasi, tak lain karena kabur jatidirinya hingga mudah pecah. Sebagai contoh bangsa Uni Soviet, Yugoslavia dan Ceko-Slowakia membubarkan diri menjadi bangsa-bangsa yang lebih kecil, tak lain akibat adanya berbagai perubahan yang ekstrim pada masyarakat.
Berbagai perubahan tersebut terutama dihembuskan oleh adanya globalisasi informasi, di mana nilai-nilai baru merasuki bangsa atau masyarakat tersebut.
Globalisasi selain membawa nilai-nilai positif juga membawa nilai negatif, yang bertolak-belakang dengan kepribadian bangsa. Nah, sudah selayaknya berbagai nilai negatif tersebut tidak begitu saja menerobos masuk dalam kehidupan bangsa.
Sudah semestinya berbagai nilai negatif diupayakan untuk ditolak, serta dijauhkan dari masyarakat. Caranya, tak lain dengan megokohkan jatidiri, termasuk di dalamnya meningkatkan pemahaman terhadap ideologi bangsa.
Selain itu, berbagai informasi yang masuk, umpamanya melalui media massa asing, sudah semestinya lebih dicermati dan dipilah dengan bijak. Informasi yang positif dan membangun, umpamanya menyangkut Iptek memang amat diperlukan, sudah selayaknya informasi yang demikian mendapat tempat serta berupaya untuk diadopsi.
Informasi menyangkut Iptek diharapkan bisa memacu prestasi bangsa kita dibidang tersebut. Setiap generasi selayaknya berupaya menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa menyebabkan degradasi kualitas moral.
Generasi muda diwarnai oleh sifatnya yang masih labil, masih mencari arah, dengan demikian mudah terpengaruh oleh berbagai informasi yang masuk. Jangan sampai semangat kebangsaan kalangan generasi muda menjadi luntur karena berbagai dampak globalisasi.
Bagaimanapun, masa depan bansga dan negara terletak ditangan generasi muda, yang kelak akan mengambil alih estafet kepemimpinan bangsa. Jatidiri sebagai bangsa Indonesia selayaknya melekat kuat pada diri setiap pemuda dan pemudi Indonesia.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, generasi muda memberikan andil yang cukup besar, antara lain dengan adanya peristiwa kebangkitan nasional, sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, hingga pergerakan reformasi.
Jika dibiarkan apa adanya, arus globalisasi dikhawatirkan akan mengikis jatidiri bangsa. Hal itu sudah terbukti pada beberapa bangsa lain. Pengikisan jatidiri menyebabkan terombang-ambingnya kondisi suatu bangsa, untuk itu berbagai faktor pengikis tersebut perlu dihalau sedini mungkin.
Dengan semakin menumbuh-kembangkan semangat kebangsaan, jatidiri bangsa akan semakin kokoh. Semangat kebangsaan memang harus terus menerus disegarkan, dibina serta dikristalkan. Hal itu juga dimaksudkan untuk mengimbangi berbagai perubahan akibat dampak globalisasi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara unsur pendinamis (dinamisator) dan penstabilan (stabilisator) memang amat diperlukan. Globalisasi informasi sebenarnya bisa menjadi pendinamis dan penstabil, dengan catatan terlebih dahulu di arahkan agar sejalan dengan ideologi dan semangat kebangsaan.
Bagaimanapun, kita tak bisa menutup diri dari berbagai pengaruh asing, namun jatidiri bangsa harus tetap diperkokoh, tak lain agar mampu mengantisipasi berbagai situasi dan kondisi. (Atep Afia).
Sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat, bangsa Indonesia sebenarnya telah memasuki usia yang cukup matang, 66 tahun. Namun jika dibandingkan dengan bangsa lainnya yang sudah berdiri kokoh selama ratusan tahun, bangsa Indonesia memang termasuk relatif muda.
Karena ditempa oleh beragam pengalaman, maka jatidiri bangsa Indonesia menjadi kokoh, hingga diakui dalam kancah pergaulan antar bangsa. Bangsa Indonesia memang telah “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan bangsa lain yang lebih senior.
Proses pembentukan jatidiri bangsa sebenarnya telah berlangsung ratusan tahun, namun pernyataan kemerdekaan sebagai bangsa yang memiliki jatidiri, memang baru dikumandangkan 66 tahun yang lalu.
Sejak 66 tahun yang lalu itulah bangsa Indonesia berupaya mengokohkan jatidirinya, hingga dalam era globalisasi bisa aktif di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Kontribusi bangsa Indonesia terhadap perdamaian dunia memang bisa dibanggakan
Bagaimanapun yang menjadi penentu utama masa depan suatu bangsa, bukanlah terletak pada pendapatan per kapita, jumlah ekspor, total devisa, atau cadangan sumberdaya alam yang dimiliki, namun ditentukan oleh jatidirinya.
Sejarah dunia membuktikan, banyak bangsa yang besar mengalami disintegrasi, tak lain karena kabur jatidirinya hingga mudah pecah. Sebagai contoh bangsa Uni Soviet, Yugoslavia dan Ceko-Slowakia membubarkan diri menjadi bangsa-bangsa yang lebih kecil, tak lain akibat adanya berbagai perubahan yang ekstrim pada masyarakat.
Berbagai perubahan tersebut terutama dihembuskan oleh adanya globalisasi informasi, di mana nilai-nilai baru merasuki bangsa atau masyarakat tersebut.
Globalisasi selain membawa nilai-nilai positif juga membawa nilai negatif, yang bertolak-belakang dengan kepribadian bangsa. Nah, sudah selayaknya berbagai nilai negatif tersebut tidak begitu saja menerobos masuk dalam kehidupan bangsa.
Sudah semestinya berbagai nilai negatif diupayakan untuk ditolak, serta dijauhkan dari masyarakat. Caranya, tak lain dengan megokohkan jatidiri, termasuk di dalamnya meningkatkan pemahaman terhadap ideologi bangsa.
Selain itu, berbagai informasi yang masuk, umpamanya melalui media massa asing, sudah semestinya lebih dicermati dan dipilah dengan bijak. Informasi yang positif dan membangun, umpamanya menyangkut Iptek memang amat diperlukan, sudah selayaknya informasi yang demikian mendapat tempat serta berupaya untuk diadopsi.
Informasi menyangkut Iptek diharapkan bisa memacu prestasi bangsa kita dibidang tersebut. Setiap generasi selayaknya berupaya menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa menyebabkan degradasi kualitas moral.
Generasi muda diwarnai oleh sifatnya yang masih labil, masih mencari arah, dengan demikian mudah terpengaruh oleh berbagai informasi yang masuk. Jangan sampai semangat kebangsaan kalangan generasi muda menjadi luntur karena berbagai dampak globalisasi.
Bagaimanapun, masa depan bansga dan negara terletak ditangan generasi muda, yang kelak akan mengambil alih estafet kepemimpinan bangsa. Jatidiri sebagai bangsa Indonesia selayaknya melekat kuat pada diri setiap pemuda dan pemudi Indonesia.
Dalam sejarah perjuangan bangsa, generasi muda memberikan andil yang cukup besar, antara lain dengan adanya peristiwa kebangkitan nasional, sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, hingga pergerakan reformasi.
Jika dibiarkan apa adanya, arus globalisasi dikhawatirkan akan mengikis jatidiri bangsa. Hal itu sudah terbukti pada beberapa bangsa lain. Pengikisan jatidiri menyebabkan terombang-ambingnya kondisi suatu bangsa, untuk itu berbagai faktor pengikis tersebut perlu dihalau sedini mungkin.
Dengan semakin menumbuh-kembangkan semangat kebangsaan, jatidiri bangsa akan semakin kokoh. Semangat kebangsaan memang harus terus menerus disegarkan, dibina serta dikristalkan. Hal itu juga dimaksudkan untuk mengimbangi berbagai perubahan akibat dampak globalisasi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara unsur pendinamis (dinamisator) dan penstabilan (stabilisator) memang amat diperlukan. Globalisasi informasi sebenarnya bisa menjadi pendinamis dan penstabil, dengan catatan terlebih dahulu di arahkan agar sejalan dengan ideologi dan semangat kebangsaan.
Bagaimanapun, kita tak bisa menutup diri dari berbagai pengaruh asing, namun jatidiri bangsa harus tetap diperkokoh, tak lain agar mampu mengantisipasi berbagai situasi dan kondisi. (Atep Afia).
Globalisasi dan Mobilitas Manusia
Globalisasi telah mendorong peningkatan mobilitas penduduk melintasi batas-batas wilayah negara. Teknologi transportasi dan informasi yang berkembang pesat di era globalisasi memungkinkan setiap orang bergerak dari satu negara ke negara lain dalam waktu singkat, meskipun jaraknya berjauhan. Perpindahan itu semakin sering terjadi manakala efek positif globalisasi di negara maju berhasil memikat banyak orang di negara berkembang untuk migrasi ke negara itu. Pada saat yang sama, peluang investasi yang tinggi di negara berkembang mampu menarik minat pebisnis dari negara maju untuk menanamkan modal di negara tersebut.
Menurut David Held (1999, 306-310), intensitas migrasi global di era kontemporer (pasca-Perang Dunia II hingga sekarang) semakin meningkat dibandingkan sebelumnya. Peningkatan itu ditandai oleh bertambahnya jumlah turis, pelancong, dan pertukaran pendidikan internasional antarnegara. Di samping itu, perang sipil di negara-negara yang memasuki fase dekolonisasi pasca-Perang Dunia II juga berkontribusi meningkatkan jumlah pencari suaka, pengungsi, dan orang-orang yang terdiaspora ke berbagai negara. membagi arus migrasi global dalam empat periode. Integrasi ekonomi di berbagai kawasan yang beriringan dengan pertumbuhan pesat jumlah perusahaan multinasional juga menyebabkan tenaga ahli yang kebanyakan di antaranya berstatus imigran semakin dibutuhkan.
Persoalannya, migrasi global tidak membuahkan hasil positif bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi justru menimbulkan konflik. Nicholas van Hear (1998, 235) mencontohkan setelah Yugoslavia pecah menjadi beberapa negara, masyarakat di negara-negara itu (terutama Bosnia) terdiaspora ke negara-negara Eropa Barat seperti Jerman, Austria, Swedia, Belanda, Swiss, Denmark, Inggris, Prancis, Norwegia, dan Italia. Kehidupan mereka bukannya menjadi lebih baik di tempat tinggal yang baru, tetapi malah menimbulkan masalah domestik.
Menurut David Held (1999, 306-310), intensitas migrasi global di era kontemporer (pasca-Perang Dunia II hingga sekarang) semakin meningkat dibandingkan sebelumnya. Peningkatan itu ditandai oleh bertambahnya jumlah turis, pelancong, dan pertukaran pendidikan internasional antarnegara. Di samping itu, perang sipil di negara-negara yang memasuki fase dekolonisasi pasca-Perang Dunia II juga berkontribusi meningkatkan jumlah pencari suaka, pengungsi, dan orang-orang yang terdiaspora ke berbagai negara. membagi arus migrasi global dalam empat periode. Integrasi ekonomi di berbagai kawasan yang beriringan dengan pertumbuhan pesat jumlah perusahaan multinasional juga menyebabkan tenaga ahli yang kebanyakan di antaranya berstatus imigran semakin dibutuhkan.
Persoalannya, migrasi global tidak membuahkan hasil positif bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi justru menimbulkan konflik. Nicholas van Hear (1998, 235) mencontohkan setelah Yugoslavia pecah menjadi beberapa negara, masyarakat di negara-negara itu (terutama Bosnia) terdiaspora ke negara-negara Eropa Barat seperti Jerman, Austria, Swedia, Belanda, Swiss, Denmark, Inggris, Prancis, Norwegia, dan Italia. Kehidupan mereka bukannya menjadi lebih baik di tempat tinggal yang baru, tetapi malah menimbulkan masalah domestik.
Globalisasi di Zaman Munculnya Imam Mahdi
Globalisasi adalah istilah yang akhir-akhir ini sangat sering dikemukakan oleh para politisi dan kaum cendekiawan. Hampir semua ilmuwan masalah sosial sepakat bahwa menyatunya bangsa-bangsa dunia menuju sebuah homogenitas adalah sebuah proses yang tidak bisa dielakkan. Hanya saja, mayoritas ilmuwan juga menyayangkan proses globalisasi yang lebih bersifat unilateral yang saat ini menjadi trend di berbagai dunia. Menurut mereka, proses globalisasi sekarang ini cenderung merupakan rekayasa kekuatan-kekeuatan tertentu dunia yang ingin menancapkan hegemoninya atas dunia.
Fenomena yang sekarang ini tengah berlangsung memang sangat terlihat tidak adil. Dunia Barat saat ini tengah melakukan intervensi budaya terhadap kawasan-kawasan lainnya di dunia, dengan tujuan agar bangsa-bangsa di seluruh dunia meniru kebudayaan Barat. Sayangnya, budaya yang mereka paksakan itu sama sekali tidak memiliki nilai universal. Budaya Barat sangat khas Barat, dan sangat sulit membayangkan akan bisa diterima secara sukarela oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia. Apalagi, saat ini Barat menunjukkan keunggulannya di atas kawasan lainnya di dunia hanya dari sisi teknologi. Sedangkan dari sudut sosial yang menjadi simbol utama kebudayaan, Barat saat ini justru sedang mengalami keruntuhan secara signifikan.
Paham liberal dan sekular yang dianut oleh Barat justru malah membuat ikatan sosial, khususnya ikatan keluarga, mengalami penghancuran internal secara sistemastis. Dari sisi ekonomi, liberalisme yang dianut oleh Barat malah membuat kesenjangan ekonomi di antara kelompok-kelompok sosial dunia semakin menganga. Demikian juga dengan sekularisme yang telah merenggut spiritualitas dari kehidupan orang-orang Barat.
Akan tetapi, dengan segala kekurangan dan keburukan yang dimilikinya, Barat tetap memaksakan proses globalisasi agar berlangsung di dunia dengan budaya Barat sebagai porosnya. Akhirnya, globalisasi malah menjadi proses distribusi model-model kesenjangan ekonomi di antara bangsa-bangsa di dunia. Terkait hal ini, sejumlah ilmuwan dan tokoh politik dunia seperti Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva saat memberikan pidato di depan Majelis Umum PBB beberapa hari lalu mengatakan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Komisi PBB, globalisasi telah menyebabkan gap di antara kelompok kaya dan kelompok miskin di dunia semakin menganga.
Di bagian lain pidatonya, da Silva mengatakan, “Untuk ke sekian kalinya harus kami ingatkan bahwa senjata destruksi massal yang paling merusak bumi saat adalah kemiskinan. Globalisasi yang saat ini tengah berlangsung di dunia, dan menjadi penyebab semakin banyaknya orang-orang miskin di dunia, seharusnya kita kontrol dan kita ubah paradigmanya hingga bisa memberikan nilai positif kepada seluruh penduduk bumi. Kita harus memulai sebuah proses globalisasi baru dengan paradigmanya yang baru, globalisasi yang membangun pilar-pilar politik dan sosial yang adil, disertai dengan pemerataan kehidupan ekonomi umat manusia di seluruh dunia sehingga mereka bisa hidup secara terhormat.”
Apa yang diungkapkan oleh Presiden da Silva itu menunjukkan kepada kita dua hal. Pertama, globalisasi adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dielakkan oleh umat manusia. Hal ini memang telah ditegaskan oleh para ilmuwan sejak beberapa abad lalu. Secara fitrahnya, manusia memang memiliki kecenderungan untuk hidup dengan cara dan budaya yang mirip satu sama lain. Sepanjang sejarah, selalu saja ada upaya yang dilakukan oleh umat manusia untuk terus melakukan pendekatan budaya dengan sesamanya. Dan kini, di era informasi ini, proses pendekatan tersebut semakin terlihat jelas karena hubungan antarbudaya semakin dimudahkan oleh kemajuan teknologi yang dicapai oleh umat manusia.
Akan tetapi, sebagaimana yang ditegaskan oleh da Silva dalam pidatonya itu, ada paradigma dan arah yang salah dari proses globalisasi. Globalisasi sekarang ini tengah dipaksakan oleh Barat, menurut da Silva, malah memperlebar kesenjangan di antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin dunia. Da Silva memang tidak menunjukkan solusinya. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa proses globalisasi ini harus dihentikan dan diganti dengan proses lainnya yang lebih adil sekaligus lebih terhormat.
Dalam ajaran Islam, kita mengenal kepercayaan terhadap kemunculan Imam Mahdi a.f. di akhir zaman. Sebagaimana yang dikemukakan dalam sejumlah riwayat, Imam Mahdi akan muncul untuk menyelamatkan dunia dari jurang kehancuran akibat meluasnya kezaliman dan ketidakadilan di dunia. Kemudian, beliau akan membentuk pemerintahan global yang meliputi seluruh dunia, dan pemerintahannya itu kelak akan didasarkan kepada nilai-nilai keislaman yang adil, terhormat, dan mulia.
Diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Imam Mahdi, umat manusia akan meniti jalan hidup kesempurnaannya. umat manusia akan dibimbing oleh Imam Mahdi untuk menebus berbagai kesalahan dan kekeliruan yang telah dibuat makhluk ini selama menjadi khalifah Tuhan di muka bumi. Kelak, tidak akan ada orang yang dianggap rendah hanya karena sifat-sifat fisik seperti warna kulit, ras, atau bangsa. Nabi Muhamad SAWW saat menyampaikan karakteristik Imam Mahdi itu bersabda, “Al-Mahdi akan menjadi awal dan akhir dari sebuah konsep dan implementasi keadilan”
Jika kita telaah konsep yang ada pada ajaran Islam terkait kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman, dan dihubungkan dengan proses globalisasi yang saat ini tengah secara kencang berhembus di seluruh dunia, kita akan menemukan kaitan yang sangat erat antara kedua hal tersebut. Para ilmuwan dan tokoh dunia saat semakin hari semakin diyakinkan oleh fakta bahwa globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, sangat banyak orang yang mengkhawatirkan dampak globilasasi yang diatur oleh dunia Barat ini.
Bahwa globalisasi adalah fenomena yang tidak akan terelakkan, Islam juga meyakini konsep munculnya Imam Mahdi yang kelak akan memimpin dunia secara global. Dari sisi ini, keniscayaan globalisasi malah mengukuhkan kebenaran ajaran Islam. Di sisi lain, kekhawatiran atas proses globalisasi masa kini yang direkayasa menjadi westernisasi itu sebenarnya bisa dijawab oleh keyakinan Islam tentang kemunculan Imam Mahdi. Makin hari, orang semakin disadarkan oleh kesempurnaan ajaran Islam yang universal, adil, progresif, sekaligus menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Ajaran Islam yang hakiki tentunya sangat layak untuk menggantikan berbagai paradigma Barat yang terbukti sarat dengan kekurangan dan keburukan.
Bagi kita yang meyakini kebenaran ajaran Islam, globalisasi bukanlah sesuatu yang harus kita tolak. Fenomena ini sebenarnya bahkan sangat selaras dengan keyakinan kita tersebut. Yang harus kita lakukan adalah ikut memberikan saham dalam perubahan arah globalisasi yang saat ini tengah berlangsung. Caranya adalah dengan melakukan hal-hal yang bisa mempercepat kemunculan pemimpin kita di akhir zaman, yaitu Imam Mahdi a.f .
Fenomena yang sekarang ini tengah berlangsung memang sangat terlihat tidak adil. Dunia Barat saat ini tengah melakukan intervensi budaya terhadap kawasan-kawasan lainnya di dunia, dengan tujuan agar bangsa-bangsa di seluruh dunia meniru kebudayaan Barat. Sayangnya, budaya yang mereka paksakan itu sama sekali tidak memiliki nilai universal. Budaya Barat sangat khas Barat, dan sangat sulit membayangkan akan bisa diterima secara sukarela oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia. Apalagi, saat ini Barat menunjukkan keunggulannya di atas kawasan lainnya di dunia hanya dari sisi teknologi. Sedangkan dari sudut sosial yang menjadi simbol utama kebudayaan, Barat saat ini justru sedang mengalami keruntuhan secara signifikan.
Paham liberal dan sekular yang dianut oleh Barat justru malah membuat ikatan sosial, khususnya ikatan keluarga, mengalami penghancuran internal secara sistemastis. Dari sisi ekonomi, liberalisme yang dianut oleh Barat malah membuat kesenjangan ekonomi di antara kelompok-kelompok sosial dunia semakin menganga. Demikian juga dengan sekularisme yang telah merenggut spiritualitas dari kehidupan orang-orang Barat.
Akan tetapi, dengan segala kekurangan dan keburukan yang dimilikinya, Barat tetap memaksakan proses globalisasi agar berlangsung di dunia dengan budaya Barat sebagai porosnya. Akhirnya, globalisasi malah menjadi proses distribusi model-model kesenjangan ekonomi di antara bangsa-bangsa di dunia. Terkait hal ini, sejumlah ilmuwan dan tokoh politik dunia seperti Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva saat memberikan pidato di depan Majelis Umum PBB beberapa hari lalu mengatakan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Komisi PBB, globalisasi telah menyebabkan gap di antara kelompok kaya dan kelompok miskin di dunia semakin menganga.
Di bagian lain pidatonya, da Silva mengatakan, “Untuk ke sekian kalinya harus kami ingatkan bahwa senjata destruksi massal yang paling merusak bumi saat adalah kemiskinan. Globalisasi yang saat ini tengah berlangsung di dunia, dan menjadi penyebab semakin banyaknya orang-orang miskin di dunia, seharusnya kita kontrol dan kita ubah paradigmanya hingga bisa memberikan nilai positif kepada seluruh penduduk bumi. Kita harus memulai sebuah proses globalisasi baru dengan paradigmanya yang baru, globalisasi yang membangun pilar-pilar politik dan sosial yang adil, disertai dengan pemerataan kehidupan ekonomi umat manusia di seluruh dunia sehingga mereka bisa hidup secara terhormat.”
Apa yang diungkapkan oleh Presiden da Silva itu menunjukkan kepada kita dua hal. Pertama, globalisasi adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dielakkan oleh umat manusia. Hal ini memang telah ditegaskan oleh para ilmuwan sejak beberapa abad lalu. Secara fitrahnya, manusia memang memiliki kecenderungan untuk hidup dengan cara dan budaya yang mirip satu sama lain. Sepanjang sejarah, selalu saja ada upaya yang dilakukan oleh umat manusia untuk terus melakukan pendekatan budaya dengan sesamanya. Dan kini, di era informasi ini, proses pendekatan tersebut semakin terlihat jelas karena hubungan antarbudaya semakin dimudahkan oleh kemajuan teknologi yang dicapai oleh umat manusia.
Akan tetapi, sebagaimana yang ditegaskan oleh da Silva dalam pidatonya itu, ada paradigma dan arah yang salah dari proses globalisasi. Globalisasi sekarang ini tengah dipaksakan oleh Barat, menurut da Silva, malah memperlebar kesenjangan di antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin dunia. Da Silva memang tidak menunjukkan solusinya. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa proses globalisasi ini harus dihentikan dan diganti dengan proses lainnya yang lebih adil sekaligus lebih terhormat.
Dalam ajaran Islam, kita mengenal kepercayaan terhadap kemunculan Imam Mahdi a.f. di akhir zaman. Sebagaimana yang dikemukakan dalam sejumlah riwayat, Imam Mahdi akan muncul untuk menyelamatkan dunia dari jurang kehancuran akibat meluasnya kezaliman dan ketidakadilan di dunia. Kemudian, beliau akan membentuk pemerintahan global yang meliputi seluruh dunia, dan pemerintahannya itu kelak akan didasarkan kepada nilai-nilai keislaman yang adil, terhormat, dan mulia.
Diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Imam Mahdi, umat manusia akan meniti jalan hidup kesempurnaannya. umat manusia akan dibimbing oleh Imam Mahdi untuk menebus berbagai kesalahan dan kekeliruan yang telah dibuat makhluk ini selama menjadi khalifah Tuhan di muka bumi. Kelak, tidak akan ada orang yang dianggap rendah hanya karena sifat-sifat fisik seperti warna kulit, ras, atau bangsa. Nabi Muhamad SAWW saat menyampaikan karakteristik Imam Mahdi itu bersabda, “Al-Mahdi akan menjadi awal dan akhir dari sebuah konsep dan implementasi keadilan”
Jika kita telaah konsep yang ada pada ajaran Islam terkait kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman, dan dihubungkan dengan proses globalisasi yang saat ini tengah secara kencang berhembus di seluruh dunia, kita akan menemukan kaitan yang sangat erat antara kedua hal tersebut. Para ilmuwan dan tokoh dunia saat semakin hari semakin diyakinkan oleh fakta bahwa globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, sangat banyak orang yang mengkhawatirkan dampak globilasasi yang diatur oleh dunia Barat ini.
Bahwa globalisasi adalah fenomena yang tidak akan terelakkan, Islam juga meyakini konsep munculnya Imam Mahdi yang kelak akan memimpin dunia secara global. Dari sisi ini, keniscayaan globalisasi malah mengukuhkan kebenaran ajaran Islam. Di sisi lain, kekhawatiran atas proses globalisasi masa kini yang direkayasa menjadi westernisasi itu sebenarnya bisa dijawab oleh keyakinan Islam tentang kemunculan Imam Mahdi. Makin hari, orang semakin disadarkan oleh kesempurnaan ajaran Islam yang universal, adil, progresif, sekaligus menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Ajaran Islam yang hakiki tentunya sangat layak untuk menggantikan berbagai paradigma Barat yang terbukti sarat dengan kekurangan dan keburukan.
Bagi kita yang meyakini kebenaran ajaran Islam, globalisasi bukanlah sesuatu yang harus kita tolak. Fenomena ini sebenarnya bahkan sangat selaras dengan keyakinan kita tersebut. Yang harus kita lakukan adalah ikut memberikan saham dalam perubahan arah globalisasi yang saat ini tengah berlangsung. Caranya adalah dengan melakukan hal-hal yang bisa mempercepat kemunculan pemimpin kita di akhir zaman, yaitu Imam Mahdi a.f .
EKONOMI INDONESIA MENGHADAPI REFORMASI, GLOBALISASI DAN ERA PERDAGANGAN BEBAS
I. SITUASI YANG KITA HADAPI
Krisis ekonomi dewasa ini telah membawa kita pada titik yang terburuk selama lebih dari 30
tahun. Dewasa ini kita menghadapi permasalahan yang bertumpuk-tumpuk. Ekonomi kita
mengalami kontraksi yang besar dengan laju inflasi yang tinggi. Nilai tukar Rupiah jatuh, suku
bunga tinggi. Pengaruh kemarau yang berkepanjangan pada tahun 1997, berdampak negatif pada
produksi bahan makanan, yang pada gilirannya kita harus mengimpor beberapa jenis bahan
makanan dalam jumlah yang cukup besar. Kegiatan produksi tersendat-sendat dan ekspor hasil
industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan, antara lain, oleh karena kesulitan untuk
mengimpor bahan baku dan suku cadang. Sebabnya oleh karena hilangnya kepercayaan kepada
perbankan nasional. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan kita menghadapi masalah hutang
yang berat baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak industri telah mengurangi kegiatannya,
bahkan ada yang telah menghentikannya. Oleh karena itu telah terjadi pemutusan hubungan kerja
yang pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Peningkatan
jumlah pengangguran yang berlangsung bersamaan dengan meningkatnya laju inflasi telah
mengakibatkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan yang sangat besar. Sementara
itu kontraksi dalam kegiatan ekonomi dan anjloknya harga migas di satu pihak dihadapkan
dengan upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap penduduk berpendapatan rendah di lain
pihak pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya defisit dalam APBN. Tingkat
kepercayaan (confidence) masyarakat yang masih rendah, tercermin pada kurs Rupiah yang
belum stabil, walaupun selama bulan Agustus 1998 terlihat adanya kecenderungan makin
menguatnya Rupiah, berkonsekuensi terhadap peningkatan harga-harga serta terhambatnya
kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri.
II. ARAH STRATEGI STABILISASI
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa penyembuhan confidence adalah kunci utama dari
keberhasilan upaya kita untuk mengentaskan diri dari krisis. Adapun alur pikir strategi stabilisasi
adalah sebagai berikut :
a. Confidence masyarakat perlu dipupuk kembali. Pertama-tama harus diarahkan pada
pengembalian para pelaku ekonomi dalam negeri; dengan makin nyatanya tanda-tanda
pulihnya kepercayaan pelaku-pelaku dalam negeri, kepercayaan para pelaku luar negeri akan
mulai ikut kembali pulih.
b. Dengan pulihnya confidence secara bertahap, maka kurs Rupiah akan makin stabil serta
secara gradual makin membaik dan akhirnya mencapai tingkat yang wajar.
c. Karena melemahnya kurs Rupiah adalah penyebab terpenting dari inflasi saat ini, maka
dengan stabilnya kurs pada tingkat yang wajar, tekanan inflasi mereda dan laju inflasi akan
terus menurun. Harga barang kebutuhan pokok, dengan konsekuensi subsidi yang harus
disediakan, akan juga menurun secara bertahap.
d. Menurunnya inflasi akan diikuti dengan menurunnya tingkat bunga. Bersama-sama dengan
mulai berhasilnya pembenahan perbankan dan makin banyaknya para pelaku ekonomi yang
www.ginandjar.com 2
mulai merasa aman, tenteram dalam melakukan kegiatan sehari-hari, maka penurunan tingkat
bunga akan mendorong bangkitnya kembali kegiatan ekonomi dalam negeri.
e. Pada akhirnya akan tercapai keadaan di mana kegiatan ekonomi kembali normal, lapangan
kerja baru mulai terbuka lagi, inflasi menurun pada tingkat wajar, kurs Rupiah relatif stabil
pada tingkat yang konsisten dengan pola kegiatan ekonomi yang normal.
Krisis ekonomi dewasa ini telah membawa kita pada titik yang terburuk selama lebih dari 30
tahun. Dewasa ini kita menghadapi permasalahan yang bertumpuk-tumpuk. Ekonomi kita
mengalami kontraksi yang besar dengan laju inflasi yang tinggi. Nilai tukar Rupiah jatuh, suku
bunga tinggi. Pengaruh kemarau yang berkepanjangan pada tahun 1997, berdampak negatif pada
produksi bahan makanan, yang pada gilirannya kita harus mengimpor beberapa jenis bahan
makanan dalam jumlah yang cukup besar. Kegiatan produksi tersendat-sendat dan ekspor hasil
industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan, antara lain, oleh karena kesulitan untuk
mengimpor bahan baku dan suku cadang. Sebabnya oleh karena hilangnya kepercayaan kepada
perbankan nasional. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan kita menghadapi masalah hutang
yang berat baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak industri telah mengurangi kegiatannya,
bahkan ada yang telah menghentikannya. Oleh karena itu telah terjadi pemutusan hubungan kerja
yang pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Peningkatan
jumlah pengangguran yang berlangsung bersamaan dengan meningkatnya laju inflasi telah
mengakibatkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan yang sangat besar. Sementara
itu kontraksi dalam kegiatan ekonomi dan anjloknya harga migas di satu pihak dihadapkan
dengan upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap penduduk berpendapatan rendah di lain
pihak pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya defisit dalam APBN. Tingkat
kepercayaan (confidence) masyarakat yang masih rendah, tercermin pada kurs Rupiah yang
belum stabil, walaupun selama bulan Agustus 1998 terlihat adanya kecenderungan makin
menguatnya Rupiah, berkonsekuensi terhadap peningkatan harga-harga serta terhambatnya
kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri.
II. ARAH STRATEGI STABILISASI
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa penyembuhan confidence adalah kunci utama dari
keberhasilan upaya kita untuk mengentaskan diri dari krisis. Adapun alur pikir strategi stabilisasi
adalah sebagai berikut :
a. Confidence masyarakat perlu dipupuk kembali. Pertama-tama harus diarahkan pada
pengembalian para pelaku ekonomi dalam negeri; dengan makin nyatanya tanda-tanda
pulihnya kepercayaan pelaku-pelaku dalam negeri, kepercayaan para pelaku luar negeri akan
mulai ikut kembali pulih.
b. Dengan pulihnya confidence secara bertahap, maka kurs Rupiah akan makin stabil serta
secara gradual makin membaik dan akhirnya mencapai tingkat yang wajar.
c. Karena melemahnya kurs Rupiah adalah penyebab terpenting dari inflasi saat ini, maka
dengan stabilnya kurs pada tingkat yang wajar, tekanan inflasi mereda dan laju inflasi akan
terus menurun. Harga barang kebutuhan pokok, dengan konsekuensi subsidi yang harus
disediakan, akan juga menurun secara bertahap.
d. Menurunnya inflasi akan diikuti dengan menurunnya tingkat bunga. Bersama-sama dengan
mulai berhasilnya pembenahan perbankan dan makin banyaknya para pelaku ekonomi yang
www.ginandjar.com 2
mulai merasa aman, tenteram dalam melakukan kegiatan sehari-hari, maka penurunan tingkat
bunga akan mendorong bangkitnya kembali kegiatan ekonomi dalam negeri.
e. Pada akhirnya akan tercapai keadaan di mana kegiatan ekonomi kembali normal, lapangan
kerja baru mulai terbuka lagi, inflasi menurun pada tingkat wajar, kurs Rupiah relatif stabil
pada tingkat yang konsisten dengan pola kegiatan ekonomi yang normal.
Langganan:
Postingan (Atom)