Jumat, 30 Desember 2011

GLOBALISASI TAK LUNTURKAN ISTIADAT SASAK SADE

Globalisasi memang tidak bisa dihindari. Globalisasi, tak hanya menyentuh warga kota semata, tapi masyarakat yang tinggal nun jauh di pelosok-pelosok sana.

Suku Sasak Sade, yang mendiami Desa Rembitan, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, sekitar 30 kilometer dari Mataram, pun
tersentuh "globalisasi".

Suku Sasak Sade adalah penghuni kampung adat, namun bukan berarti
mereka tak mengenal modernitas, buktinya gadis-gadis suku itu mengenal dengan baik "boy band" Sm*sh, grup penyanyi yang menjadi ikon remaja gaul masa kini.

Pada suatu siang yang terik, tiga orang gadis suku Sasak Sade, Impu Naywati (16), Impul Susanti (12) dan Yuli Sartika (14), terlihat bercengkrama satu sama lain, sambil menyanyikan lagu "Cenat-cenut" milik "boy band" asal Kota Kembang Bandung itu.

"Suka banget sama Sma*sh, apalagi Morgan (salah seorang personil Sma*sh). Dia ganteng dan suara bagus sekali," kata Impu Naywati sambil menunjuk poster Sma*sh yang ditempel di salah satu bilik luar Bale Bontar. Bale Bontar adalah rumah adat Suku Sasak Sade untuk keluarga yang sudah mempunyai anak.

Tak hanya satu poster, tiga gadis jelita dari Suku Sadak Sade itu menempel tiga poster Sma*sh sekaligus di Bale Bontar milik salah seorang warga.

Impu, Impung dan Yuni ialah generasi penerus Suku Sasak Sade yang lahir di era globalisasi.

Saat ini, jumlah Suku Sasak Sade mencapai kurang lebih 700 orang. Mereka mendiami sekitar 150 rumah di desa Rembitan.


Patuh
Meskipun globalisasi telah menyentuh masyarakat Suku Sasak Sade, namun nilai-nilai leluhur mereka tetap dipertahankan oleh generasi penerusnya termasuk Impung Yuni, dan Impu.

Kepatuhan tiga gadis itu terhadap nilai leluhur mereka ialah dengan cara berpakaian mereka yang tetap mengenakan bendang (kain sarung khas untuk dipakai perempuan Suku Sasak Sade).

"Iya, kalau anak perempuan di sini harus pakai bendang," ujar Impu dengan logat khasnya.

Impu mengatakan, kedua orang tuanya tak melarang dirinya untuk mengidolakan enam personil Sma*sh yakni Morgan Oey, Bisma Kharisma, Muhammad Ilham Pratama, Reza Anugerah, Dicky M Prasetya, Rafae dan Rangga Dewamoela S.

"Orang tua ngak marak kok, saya suka sama Sma*sh," kata Impu yang tercatat sebagai siswi kelas 1 SMAN 1 Pujut.


Menculik Pengantin
Sementara itu, salah seorang warga kampung adat Suku Sasak Sade Menaf (31), menuturkan bahwa kebiasaan atau adat istiadat leluhurnya tersebut sampai sekarang masih dipertahankan.

"Salah satunya ialah mencari pasangan hidup masih secara intern yakni untuk mempertahankan kerabat, nikah bisa mencari dari keponakan," ujar Menaf.

Ia menuturkan, ada beberapa tahapan sebelum pernikahan yang menjadi adat istiadat warga yakni "menculik" si calon istri.

"Yang pertama yang dilakukan calon suami adalah menculik calon isteri keluar dari Kampung Sasak," katanya.

Sepintas memang agak aneh. Namun kebiasaan menculik ini ialah untuk menghormati orangtua perempuan yang akan dinikahi.

Tradisi menculik calon pengantin di Suku Sasak Sade ini bisa dikatakanya proses negosiasi antara pria dan calon orang tua mempelai.

"Jadi biasanya setelah menculik baru ada percakapan antara orang tua perempuan dan orang tua laki-laki. Jika telah mendapatkan calon istri, pihak orangtua suami akan bertandang ke rumah calon istri untuk bertanya tentang mas kawin dan biaya pernikahan," katanya. Setelah sepakat, maka pernikahan bisa dilangsungkan.

Keunikan budaya Suku Sasak Sade dalam ritual perkawinan tak berhenti usai "menculik" yakni prosesi pernikahannya.

Biasanya pengantin diwajibkan untuk berjalan sejauh dua kilometer menuju rumah dengan diiringi oleh tarian dan musik tradisional.

"Usai menikah, pengantin baru akan menempati Bale Kodong, sebuah rumah adaat berukuran sekitar dua kali dua meter," katanya.

Rumah adat Suku Sasak Sade sangat unik. Sebuah rumah adat Suku Sasak Sade bagian atap terbuat dari alang-alang yang tidak tembus air dan bisa bertahan sampai dengan sembilan tahun.

Sedangkan bagian dindingnya menggunakan bilik dari bambu. Tiang-tiang penyangganya juga kebanyakan terbuat dari bambu.

Cara mengepel masyarakat Suku Sasak Sade tidak biasa. Rumah adat Suku Sasak Sade yang terbuat dari tanah liat dicampur sekam dan kotoran sapi.

"Untuk membersihkan lantainya pun menggunakan kotoran sapi yang belum lama keluar dari sapi," katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar