Jumat, 30 Desember 2011

Globalisasi dan Pendidikan

Pada era globalisasi ini, kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara. Dalam kaitan ini, Indonesia harus mereformasi pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. Bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi faktor pendidikan di era globalisasi ini, akan menjadi ancaman yang mengerikan berupa runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas.

Fenomena globalisasi, yang telah mengubah sedemikian rupa pola perdagangan dunia, informasi dan komunikasi, serta hubungan perekonomian di akhir abad kedua puluh, membawa pengaruh perubahan yang sama di bidang pendidikan di awal abad kedua puluh satu.

Pilihan pendidikan saat ini, sudah tidak lagi tersekat pada batasan-batasan teritorial sebuah negara. Perubahan-perubahan sistem pembelajaran seperti transnational education, internet based learning, distance learning, kampus-kampus jarak jauh (offshore campus), franchise institution, telah berkembang sedemikian rupa pesatnya di berbagai negara. Hal ini memberi kesempatan kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk memilih lembaga pendidikan dan atau sistem pembelajaran yang diinginkannya, baik di negara asal maupun di luar negeri.

Persaingan global pun sangat terbuka bagi pelajar mahasiswa yang “berprestasi dan cemerlang”, karena di era global ini banyak negara yang menjadikan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditi ekspor. Sepanjang sejarah kemanusiaan baru di era inilah masyarakat pendidikan, pelajar, mahasiwa, pengajar, dan civitas akademika lainnya mempunyai kesempatan untuk masuk dalam apa yang disebut sebagai “pasar dunia” atau global market.

Bagi para pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan di Indonesia, era ini tentu saja memberikan banyak kesempatan sekaligus sebagai sebuah ancaman, atau setidaknya tantangan atau bahkan era ini merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bangkit menyejajarkan dirinya dengan negara-negara lain di dunia.

Ancaman yang sangat mengerikan bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi faktor pendidikan di era globalisasi ini adalah runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas. Sumber daya manusia yang dimiliki tidak mampu bersaing dalam berbagai sektor kehidupan membuat Indonesia semakin terdesak mundur dan kalah dalam persaingan menata kehidupan sosial, ekonomi, politik, pertahanan, dan lainnya.

Ketergantungan yang terus-menerus terhadap orang, institusi dan negara lain membuat ketidakpercayaan terhadap diri sendiri yang semakin dalam sehingga banyak hal harus ditentukan oleh orang, institusi dan negara lain. Sementara pada era globalisasi kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara.

Indonesia harus mereformasi kembali pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain.
Ancaman yang disebutkan di atas adalah tantangan yang harus dihadapi dengan keseriusan dan penuh keyakinan, karena untuk kembali menata pendidikan sebagai kunci keberhasilan sebuah negara kita menghadapi berbagai tantangan yang sifatnya intern maupun ekstern.

Tantangan secara intern yang jelas adalah, bahwa banyak di antara pelajar, mahasiswa bahkan orang tua palajar Indonesia, masih melihat Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat untuk tujuan belajar, baik itu untuk tingkat sarjana ataupun pascasarjana. Hal ini disebabkan mutu pendidikan di negeri ini terus dan terus menurun, juga masih saja kekurangan fasilitas, termasuk di dalamnya kurangnya fasilitas komputer dan akses internet, dan alat bantu modern lain yang dibutuhkan.

Kekurangan tersebut tidak saja monopoli lembaga-lembaga pendidikan tinggi daerah, baik milik pemerintah maupun swasta, tetapi juga berlaku pada lembaga pendidikan di kota-kota besar. Hanya sedikit saja di antaranya yang memiliki kemapanan berupa kecukupan alat bantu modern. Mereka masih belum mampu menarik minat masyarakat menengah atas, karena berbagai sebab, di antaranya adalah kurangnya tenaga pengajar internasional, diragukannya pengakuan internasional, dan kurikulum yang masih mengacu pada aturan lama yang tidak seiring dengan permintaan internasional. Bagaimanapun sampai saat ini lembaga pendidikan Indonesia, masih belum mampu bersaing dalam kompetisi internasional yang amat ketat di era globalisasi ini.

Kebijakan pemerintah tentang pendidikan yang bukan menjadi prioritas utama dalam pembangunan menyebabkan dunia pendidikan Indonesia tertinggal jauh secara kualitas. Anggaran pendidikan yang minim, profesionalitas tenaga pengajar yang rendah, sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat Indonesia semakin tertinggal jauh.

Secara ekstern, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dengan dunia industri terutama yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi belum mampu diikuti dengan cermat oleh bangsa Indonesia. Persaingan kualitas output pendidikan merupakan indikator yang jelas akan lemahnya output yang dihasilkan oleh Indonesia. Untuk itu kehandalan sense of entrepreneurship para pimpinan dan tenaga-tenaga manajemen pendidikan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, sehingga mampu membawa lembaga pendidikan Indonesia ke arah global oriented dalam arti sepenuhnya.

Dengan tradisi belajar dan mengajar yang sudah cukup tua, sesungguhnya Indonesia mempunyai potensi untuk memanfaatkan globalisasi ini, jauh dari apa yang saat ini diperoleh oleh negara tetangga kita Malaysia, yang tak seberapa tahun yang lalu masih mendatangkan guru-guru dari Indonesia. Kini dengan upaya intensif, Malaysia sudah dikenal sebagai Center of Excellent, dan telah terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa/pelajar yang dikirim oleh Indonesia, dengan pelajar/mahasiswa yang dikirim oleh Malaysia ke Indonesia.

Saat ini hanya kurang lebih 8.000 orang pelajar dan mahasiswa Malaysia di seluruh Indonesia, dan institusi pendidikan internasional yang terbanyak mendapatkan kepercayaan dari Malaysia adalah Al-Zaytun. Sementara jumlah pelajar Indonesia di negeri jiran ini lebih dari 28.000 orang.

Kemudian dalam kondisi ini bagaimanakah Indonesia mengambil peran? Inilah pertanyaan yang sering didiskusikan tentang upaya-upaya praktis oleh para pelaku didik di Al-Zaytun. Bagi pelaku didik Al-Zaytun, globalisasi disadari sepenuhnya sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, namun juga menjadi tantangan dan harapan untuk berkiprah di jagat raya, mengukir kebesaran potensi yang dimiliki bangsa Indonesia melalui pendidikan.

Beruntunglah bahwa untuk itu semua, Indonesia telah memiliki Undang Undang Pendidikan baru, yang tentu saja lebih terbuka dan lebih akomodatif untuk segala bentuk inovasi dan reformasi pendidikan, sehingga memudahkan pendidik, dan peserta didik memperoleh kesempatan di era globalisasi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar