Jumat, 16 Desember 2011

Politik

Politik

Image via Wikipedia

DEMOKRASI UNTUK KAUM PEMODAL

Ayipudin*

Meski kabut kelam menyelimuti permukaan bumi Indonesia, namun sang fajar tetap memaksa untuk menyingsing dan menerangi negri ini dengan ragam alternative, warna-warni wacana dan pelbagai kemungkinan. Masih segar dalam ingatan bagaimana runtuhnya rezim orde baru sejak bergulirnya gerakan reformasi yang dicanangkan mahasiswa dan para reformis di pertengahan tahun 1998, yang menuntut suatu perubahan untuk mengawali sejarah baru menuju Negara yang demokratis dan egaliter.

Menengok model demokrasi barat yang berkembang dewasa ini, dan banyak dipuji orang bukanlah suatu prestasi politik yang datang begitu saja, tapi kondisi itu merupakan perjalanan panjang dari suatu peroses sejarah. Francis Fukuyama mungkin orang yang paling berjasa membentuk presepsi dan blue print demokrasi pasca perang dingin. Dunia pasca jatuhnya Uni Soviet itu ia sebut sebagai akhir sejarah (the end of history) dan menyatakan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir evolusi ideologi manusia (the end point of mankind’s ideological evolution).

Secara historis ide liberalisasi tersebut lahir di Eropa abad ke 17 berkaitan erat dengan perlawanan terhadap ketidak adailan kekuasaan monarki. Liberalisme lahir sebagai jawaban dalam melindungi hak-hak sipil warga Negara dari kekuasaan absolute. Ada semacam penegasan bahwa hak-hak sipil terutama hak milik pribadi tidak bisa begitu saja diklaim oleh sang raja, atau menjadi milik sewenang-wenang dari kaum aristocrat. Makanya tidak heran kalau semangat liberalism adalah pembatasan kekuasaan tiranik dan absolut yang datang dari manapun agar setiap warga mempunyai kebebasan hak-hak sipilnya. Meskipun liberalism dan demokrasi lahir dan berkembang di Barat, tapi esensinya, yakni menentang kekuasaan tiranik demi melindungi serta mewadahi hak-hak warga Negara merupakan kebijakan yang releven dengan masyarakat non Brat, termasuk Indonesia. Dengan demokrasinya yang tak pernah sepi untuk diperdebatkan, karena itu varian demokrasi begitu banyak melahirkan interpretasi. Dari asal katanya Yunani klasik, xratos berarti kekuasaan/pemerintahan, demos berarti oleh rakyat jadi, demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Abraham Lincoln menegaskan bahwa demokrasi bukan sekedar’’oleh rakyat’’tapi juga’’untuk rakyat’’.

Demi sebuah demokrasi, Indonesia melakukan liberalisasi yang derastis di segala bidang baik ekonomi, politik dan sosial budaya.Pemilihan umum berjalan tidak hanya ditingkat pusat tapi hingga tingkat daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah digelar besar besaran. Hingga tak terasa, era reformasi yang membawa gerbong demokrasi liberal itu sudah berjalan satu dasa warsa. Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana peran demokrasi dalam mengusung perubahan guna member jawaban atas problem sosial?Memang benar bahwa gelobalisasi neoliberal melanda seluruh dunia, namuan mengapa Indonesia menjadi mata rantai terlemah? Berbeda dengan Negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand sudah jauh berada didepan kita, sementara kita sendiri seperti penumpang perahu tanpa kompas, tidak tau tujuan dan cara berlayar. Ironisnya di tengah eforia demokrasi liberal sebagian masyarakat makin merasakan himpitan beban kehidupan, BBM naik melambung tinggi akses kesehatan mahal biaya pendidikan sulit terjangkau, pengangguran meningkat sehingga angka kemiskinan bertambah banyak.

Sementara, Sumberdaya Alam Indonesia, dimulai minyak, emas, batu bara semakin banyak bralih ketangan asing. Di sektor perbankan dan telekomunikasi sudah menjadi dominan korporasi multinasional, yang sebentar lagi kita akan merasakan seperti anak ayam kelaparan di lumbung padi. Jika demikian adakah yang salah dengan demokrasi? Diperparah lagi oleh kebijakan iklim perpolitikan yang hanya berputar-putar pada kebijakan yang kurang berpihak pada rakyat, sehingga agenda yang sifatnya untuk mengubah nasib rakyat, banyak terbengkalai. Ironisnya, bukan tak mungkin demokrasi kita sekarang ini menjadi sarana mobilisasi vertical kaum pemodal. Apakah pengusaha, pedagang bahkan koruptor. Sehingga transformasi masyarakat tidak berjalan liner dan kurang mendapat akses untuk melahirkan calon-calon pemimpin yang idealis. Yang seharusnya meletakan konsep demokrasi sebagaimana kelahiranya yaitu untuk menuju kesejahteraan rakyat dan selanjutnya pembangunan demi kebaikan dan kemajuan bangsa. Dengan demikian perwajahan gerbong demokrasi di Indonesia mampu menampakan jati dirinya yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar