MedanBisnis – Medan. Guru besar dan pakar Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Budi Winarno mengatakan, globalisasi telah menimbulkan marginalisasi sistemik. Globalisasi neoliberal dicirikan oleh liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Dampaknya, neoliberalisme menjadi ideologi penggerak globalisasi sekarang ini.
Hal itu dikatakan Prof Budi Winarno dalam kuliah umum berjudul “Melawan Gurita Neoliberalisme” di Program Pascasarjana UMA di Kampus II Jalan Sei Serayu Medan, Senin (21/2). Kuliah umum dihadiri Direktur Pascasarjana UMA Drs Heri Kusmanto MA dan para Pembantu Direktur serta diikuti mahasiswa program S2.
Dia menjelaskan, negara-negara di dunia “dipaksa” untuk meliberalisasi investasi dan perdagangan, termasuk di sektor pertanian. Baik IMF dan Bank Dunia menjadi sentrum penyebaran ideologi neoliberal.
Tahun 1980-an, Indonesia telah melancarkan serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk semakin memperluas basis ekonomi swasta, baik nasional maupun internasional. Ketika Indonesia mengalami serangkaian krisis moneter, usaha untuk mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global semakin gencar dilakukan sebagai konsekuensi bantuan IMF.
Sepanjang tahun 1980-1987, ucap Budi, sekitar 30% dari industri menengah kecil mengalami gulung tikar. Sejak investasi asing mengalir masuk ke Indonesia tahun 1967, banyak industri tradisional, khususnya industri tekstil telah bangkrut karena mereka tidak mampu bersaing dengan industri tekstil modern yang dimiliki oleh para pemilik modal asing.
Diperkirakan, selama tahun 1969 sampai dengan tahun 1970 industri-industri tekstil tradisional berjumlah 324 000, namun jumlah industri tersebut telah berkurang drastis dan tinggal sekitar 60.000. Secara konsisten, Indonesia terus meliberalisasi perekonomian dalam negeri sesuai dengan mandat yang diberikan oleh WTO.
Kebijakan neoliberal di sektor pertanian tidak hanya membuat petani semakin kesulitan, tetapi juga menciptakan bentuk baru ketergantungan sektor pertanian. Periode 1989-1991, Indonesia merupakan negara pengeskpor pangan (net exporter) dengan nilai sekitar US$ 418 juta/per tahun. Namun, sejak tahun 1994, Indonesia beralih menjadi pengimpor pangan.
Pada 2003, sebagai akibat liberalisasi yang makin intensif, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,4 miliar untuk tanaman pangan dan US$134,4 juta untuk peternakan
Dalam hal impor, pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan rata-rata US$ 863 juta per tahun. Selama periode 1996-2003, Indonesia mengimpor beras 2,83 juta ton, gula 1,6 juta ton, jagung 1,2 juta ton, kedelai 0,8 juta ton.
Untuk itu katanya, negara harus bisa memberikan kesejahteraan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Negara bangsa harus tetap melakukan peran krusial dan menentukan dalam era globalisasi ekonomi dan perlu dilakukan penataan kembali posisi (repositioning) birokrasi.
Negara dipandang memiliki kapasitas mendesain instrumen-instrumen pembangunan yang efektif dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi. (ramita harja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar