Berlakunya CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area) benar-benar merubah orientasi pasar di negara kita. Bagaimana tidak, belum separuh kita bekerja memperbaiki kondisi perekonomian bangsa ini sudah diterjang oleh pasar bebas yang mengakibatkan pasar industri kita jatuh bangun. Pemberlakuan perdagangan bebas seiring dengan globalisasi sebenarnya sudah lama diprediksi. Di era Presiden Suharto, jajaran kabinetnya sudah mendengungkan soal globalisasi perdagangan yang akan diikuti oleh terbentuknya pasar bebas khususnya dengan RRC. Oleh sebab itu Pak Harto buru-buru menegaskan upaya peningkatan kualitas industri kecil dan menengah dengan orientasi meningkatkan daya saing. Ini tertulis di dalam buku Manajemen Presiden Suharto (Penuturan 17 Menteri). Selain itu pembatasan berpolitik bagi warga negara dengan maksud penguatan ekonomi harus didahulukan, setelah itu baru berpolitik. Namun sayang segalanya tak terealisasi seiring jatuhnya Pemerintahan Suharto.
Kini dengan masuknya barang-barang industri yang serba murah dari RRC, pasar kita harus berjuang keras untuk menemukan jati dirinya sehingga mampu bertahan di pasaran. Masih untung barang industri, bagaimana dampak kepada komoditas pangan? Meroketnya harga komoditas pangan mengingatkan kita terhadap peringatan yang pernah disampaikan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) beberapa waktu yang lalu. Peringatan tersebut tertuang dalam laporan yang berjudul OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016. Laporan tersebut menyebutkan terjadinya perubahan permanen terhadap struktur perdagangan komoditas pangan dunia. Kaitannya yaitu kenaikan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi 12% tahun ini, mungkin belum sempurna tanpa dibarengi dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi, artinya orientasi mana yang akan digunakan oleh pemerintah dan skala prioritas apa dalam pembangunan. Apakah komoditas pangan ataukah sektor riil yang masih perlu diperhatikan, mengingat kondisi perbankan kita masih fluktuatif, suku bunga yang masih tinggi, dan semua ini tentunya amat berpengaruh pada kebijakan fiskal. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada beberapa kebutuhan pokok, kita masih mengimpor dari negara lain.
Saat ini dunia memasuki era baru untuk komoditas pangan dan rasanya mustahil berorientasi pada harga murah. Misalnya, saat ini mustahil dapat mengembalikan harga gula yang semula dahulu adalah Rp. 6000 – Rp. 7000 per kilogram, harga keseimbangan berkisar antara Rp. 9.000 – Rp. 10.000. Kini ancaman ketahanan pangan dapat saja menaikkan harga kebutuhan pokok. Perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian di pasar dunia saat ini memunculkan pertanyaan, apakah kita masih tetap mau mempertahankan kredibilitas kita sebagai negara yang kaya akan sumber agraris, yang pernah mencatat sejarah swasembada bahan pangan? Saat ini tentu petani harus berjuang mati-matian karena dampak dari pemanasan global dan bencana banjir sering mengakibatkan gagal panen sementara harga pupuk yang belum pro-petani turut mempersulit peningkatan kualitas produksi pertanian. Tata cara pemerintah dalam mengatur ekonomi rasanya belum pasti. Kalau kita lihat kebijakan ekonomi di era Gus Dur, beliau sempat mengeluarkan pernyataan supaya sebagian kebun-kebun sawit milik negara dan swasta diberikan kepada rakyat. Pada waktu itu reaksi kebanyakan orang terutama pekebun sawit menganggap bahwa kebijakan itu tidak masuk akal. Akibatnya gagasan itu tidak terlaksana. Bahkan sehari sebelum terpilih menjadi PresidenRI seperti diungkapkan pengamat politik Eep Saefullah Fatah, Gus Dur mengatakan, “Sebagai Presiden atas negara yang berdaulat, tidak boleh ada kekuatan lain yang mengatur saya dan Indonesia.” Prinsip Independensi ini sangat bertentangan tentunya dengan kepentingan asing yang waktu itu terakomodasi di dalam IMF. Lalu bagaimana prinsip ekonomi yang berjalan saat ini, utamanya mengatasi kesulitan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pangan? Perlu dicatat bahwa bangsa ini pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba, apalagi di bawah kendali Belanda pada waktu itu pada tahun 1925 produksi gula pulau Jawa mencapai 3 juta ton. Saat ini Indonesia masih tercatat sebagai importir utama beberapa komoditas pangan seperti kedelai, gula, terigu hingga garam.
Bagaimanapun FAO pernah mengingatkan bahwa suatu negara yang berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak akan dapat membuat rakyatnya sejahtera bila pemenuhan kebutuhan pokoknya selalu diimpor. Kita dapat memetik pelajaran berharga dari peristiwa Uni Soviet. Negara tersebut hancur berkeping-keping bukannya karena mendapat serangan militer dari negara-negara Barat, akan tetapi karena terjebak dalam krisis pangan, dimana Uni Soviet yang memiliki orientasi impor akhirnya terperangkap dalam jebakan pangan (food trap). Setiap tahun devisa negara kita terkuras tidak kurang dari 50 trilyun untuk impor bahan pangan, angka itu amat tinggi karena melampaui total anggaran sektor pertanian pada 2009 yaitu 40 trilyun. Perlu diketahui bahwa APBD kabupaten / kota di Indonesia saat ini kurang dari 1 trilyun pertahun. Dari sini jelas bahwa harus ada upaya pemerintah untuk segera membuat kebijakan strategis dalam bidang ekonomi sehingga kita memiliki ketahanan dalam bidang pangan.
Kita dapat mencontoh bagaimana RRC mampu bersaing dengan Barat soal ekonomi. RRC adalah negara yang memiliki kebijakan perekonomian hampir seluruhnya ekspor. Kebijakan fiskal negaranya yang hanya menetapkan bunga bank sebesar 1-2% sangat menguntungkan bagi para produsen, sehingga mereka dapat menjual produknya dengan harga yang tentu saja lebih murah. Selain itu RRC memberikan peluang kepada warganya yang memiliki konsep atau ide pengembangan dalam bidang ekonomi dengan memberikan fasilitas lengkap dan memadai, dengan demikian akan memacu sumber daya manusia di RRC untuk bersaing secara sehat dan mandiri.
Seperti yang telah kita bersama pahami bahwa negara kita memiliki pinjaman luar negeri yang sangat besar, setiap tahun kita harus membayar bunga hutang yang besarnya kurang lebih setara dengan pokok pinjaman. Hutang itu sendiri masih terbagi atas dua bagian, yaitu hutang luar negeri dan dalam negeri. Sementara di sisi lain, pemerintah masih harus berjuang keras melawan para koruptor, karena setiap tahunnya negara dirugikan hingga trilyunan rupiah. Sebagai bagian dari bangsa ini, tentunya kita bercita-cita menjadi bangsa yang mandiri dari sisi ekonomi. Namun kemandirian ekonomi Indonesia yang diharapkan masih menuai jalan yang panjang dan berliku. Setidaknya terdapat dua hal yang menjadi hambatan besar, yaitu kuatnya dominasi asing atas perekonomian Indonesia, serta dominasi pihak swasta dalam memimpin arah kebijakan ekonomi kita. Saat ini hampir di semua sektor, baik industri, pariwisata, perdagangan dan bahkan pendidikan dikuasai oleh swasta. Hal ini tidak berarti bahwa tanpa pola seperti ini kita tidak bisa sejahtera, namun patut disadari bahwa daya serap tenaga kerja kita untuk sektor tersebut masih sangat sedikit. Kalaupun tersedia domain kita masih pada tenaga kerja yang tidak berada pada level menengah ke atas. Hal ini berkait dengan status sosial warga Indonesia asli, serta ekonomi kerakyatan secara tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini tentu keberadaan BUMN adalah sangat dominan namun pada kenyataannya BUMN yang kita andalkan seringkali mengalami kerugian. Kedua, kita belum dapat menjawab sebenarnya sistem perekonomian seperti apa yang ingin kita terapkan. Meskipun ekonomi kerakyatan adalah sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, namun upaya pemerataan ekonomi masih menimbulkan tanda tanya.
Saat ini, di tengah era globalisasi yang sarat dengan teknologi dan informasi, kita amat tergantung pada dunia barat. Mayoritas masyarakat kita adalah pengguna teknologi komputer dan internet dimana bisnis ini dikuasai oleh asing secara dominan. Dapatkah kita bayangkan berapa pendapatan sebuah pabrik internet Yahoo atau Google di Amerika? Jangan-jangan masyarakat kita adalah pengguna produk mereka yang terbesar. Bila ini terjadi tentu kita telah menyumbang dana ke negara-negara maju, suatu hal yang ironis mengingat rakyat kita sendiri masih banyak yang hidup miskin. Kehadiran teknologi memang sangat penting namun harus diiringi dengan kemampuan sumber daya manusia dan kebijakan ekonomi yang berorientasi nasional. Kita baru bisa membayangkan andaikata manusia Indonesia bukan hanya pengguna produk asing namun juga mampu menciptakannya. Bayangkan apabila internet diciptakan oleh orang Indonesia dan pabriknya ada di Jakarta, tentu itu mungkin masih sebatas mimpi. Saat ini saja perusahaan asing seperti Exxon menghasilkan PDB ( Produk Domestik Bruto ) yang hampir setara dengan yang dimiliki oleh negara kita. Kalau berpikir mudah, semestinya Exxon dinasionalisasikan saja supaya bisa menghasilkan devisa yang besar untuk Indonesia. Namun tentu itu tidaklah mungkin karena kebijakan negara kreditor dalam meminjamkan dana ke negara kita tentunya melarang hal tersebut. Saat ini pasar teknologi dan industri situasinya berkebalikan dengan pasar bahan pangan. Perkembangannya sangat pesat dan melaju nyaris tanpa kendali. Hal ini disebabkan karena masuknya globalisasi yang sekaligus bermutasi dengan iklim kebebasan yang diusung oleh era reformasi, sehingga masyarakat butuh dua hal, komunikasi dan hiburan. Pernyataan ini nampaknya sederhana namun desakannya kuat belakangan ini. Hampir semua tayangan di televisi menyajikan aneka macam hiburan bagaikan masakan. Persaingan dalam dunia entertaiment tidak menciptakan kerugian. Semua hampir pasti diuntungkan, bahkan para artis dan aktornya pun mendapat kedudukan yang terhormat, bukan hanya beberapa dari mereka menjadi figur pejabat namun juga dielu-elukan serta disambut secara resmi ketika berkunjung ke daerah. Artinya, dunia entertainment mampu merubah paradigma berpikir masyarakat. Di bidang komunikasi, hampir semua lapisan masyarakat adalah pengguna telepon seluler, komputer maupun internet, baik sebagai alat komunikasi ataupun hiburan. Kalau demikian, yang terjadi apakah kita bisa menjadi miskin karenanya? Tetapi faktanya sebagian besar masyarakat menggunakan internet dan telepon seluler sehingga logikanya mereka tak dapat dikatakan kekurangan. Jadi dampak teknologi, informasi dan hiburan di era globalisasi memiskinkan atau memakmurkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar