Globalisasi telah mendorong peningkatan mobilitas penduduk melintasi batas-batas wilayah negara. Teknologi transportasi dan informasi yang berkembang pesat di era globalisasi memungkinkan setiap orang bergerak dari satu negara ke negara lain dalam waktu singkat, meskipun jaraknya berjauhan. Perpindahan itu semakin sering terjadi manakala efek positif globalisasi di negara maju berhasil memikat banyak orang di negara berkembang untuk migrasi ke negara itu. Pada saat yang sama, peluang investasi yang tinggi di negara berkembang mampu menarik minat pebisnis dari negara maju untuk menanamkan modal di negara tersebut.
Menurut David Held (1999, 306-310), intensitas migrasi global di era kontemporer (pasca-Perang Dunia II hingga sekarang) semakin meningkat dibandingkan sebelumnya. Peningkatan itu ditandai oleh bertambahnya jumlah turis, pelancong, dan pertukaran pendidikan internasional antarnegara. Di samping itu, perang sipil di negara-negara yang memasuki fase dekolonisasi pasca-Perang Dunia II juga berkontribusi meningkatkan jumlah pencari suaka, pengungsi, dan orang-orang yang terdiaspora ke berbagai negara. membagi arus migrasi global dalam empat periode. Integrasi ekonomi di berbagai kawasan yang beriringan dengan pertumbuhan pesat jumlah perusahaan multinasional juga menyebabkan tenaga ahli yang kebanyakan di antaranya berstatus imigran semakin dibutuhkan.
Persoalannya, migrasi global tidak membuahkan hasil positif bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi justru menimbulkan konflik. Nicholas van Hear (1998, 235) mencontohkan setelah Yugoslavia pecah menjadi beberapa negara, masyarakat di negara-negara itu (terutama Bosnia) terdiaspora ke negara-negara Eropa Barat seperti Jerman, Austria, Swedia, Belanda, Swiss, Denmark, Inggris, Prancis, Norwegia, dan Italia. Kehidupan mereka bukannya menjadi lebih baik di tempat tinggal yang baru, tetapi malah menimbulkan masalah domestik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar